Selasa, 28 Oktober 2014

TAFSIR SURAH AL-FATIHAH - SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI


Syekh Abdul Qadir Al-Jailani pada pembukaan tafsir Surah Al-Fatihah mengungkapkan: “Sungguh sangat jelas bagi siapapun yang telah Allah Ta'ala bangkitkan dari tidur kelalaian dan kantuk kealpaan, bahwa seluruh alam semesta dan isinya tidak lain adalah mazhhar (manifestasi) dari berbagai sifat-sifat Allah yang lahir dari nama-nama Dzat-Nya. Hal itu karena, di setiap martabat dari Martabat-martabat Wujud, Dzat memiliki nama dan sifat khusus yang masing-masing memiliki atsar (impresi) tersendiri. Maka demikianlah semua Martabat Wujud. Meski wujud itu hanya sebutir zarah, sekerjap mata, atau secercah bersitan dalam hati.
Sedangkan, martabah (martabat) yang disebut dengan Ahadiyah yang tidak berbilang atau disebut juga al-‘ama’ adalah martabat yang tidak ada ruang bagi auliya’ dan ulama (untuk menggapainya), melainkan hanya al-hasrah (pilu hati), al-hairah (rasa kacau) al-walah (kebingungan) dan al-haiman (kehausan cinta).
Martabat Ahadiyah merupakan martabat yang menjadi puncak tertinggi pencapaian para nabi dan ujung suluk para wali. Setelah (sampai di martabat) itu, mereka akan “berjalan” di dalamnya dan pasti akan menuju kepada Allah, hingga mereka semua akan mengalami istighrâq (tenggelam secara total mengingat Allah) sampai mengalami al-hairah (kebingungan/keterpanaan spiritual) dan fana’. Tiada Tuhan selain Dia (lâ ilâha illâ huwa). Segalanya musnah kecuali Wajah-Nya (kullu syai` hâlik illâ wajhah).
Kemudian, ketika Allah ingin membimbing hamba-hamba-Nya ke Martabat Ahadiyah tersebut—yakni agar mereka dapat kian dekat dan bertawajuh kepada-Nya hingga tawajuh dan taqarub mereka berakhir pada ‘isyq (rindu) dan mahabbah (cinta) yang paling hakiki (al-haqîqah al-haqqiyyah) saja, yang akan menyebabkan runtuhnya penyematan (al-idhafat) yang melahirkan kesan kepada keberbilangan atau dualitas terhadap Allah, yang setelah itu niat mereka menjadi murni dan layak untuk fana’—Allah menarik perhatian manusia untuk bergerak menuju ke jalan-Nya—sebagai bentuk bimbingan dan pengajaran kepada mereka—melalui doa-doa yang dipanjatkan kepada-Nya serta dalam munajat-munajat bersama-Nya, yang dalam doa-doa dan munajat-munajat itu tersirat (isyarat akan) kembalinya yang banyak menuju tunggal yang sempurna, yakni ketunggalan sempurna (kamal al-wihdah) yang mengenyahkan keberbilangan (nihayah al-katsrah).”
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menafsirkan surah Al-Fatihah, satu per satu:
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
“Dengan nama “Allah” yang merupakan istilah bagi Dzat Ahadiyah, hal ini berdasarkan pada; 1) Berdasarkan tanazzul-Nya (turunnya wujud dengan penyngkapan Tuhan) dari Martabat Ahadiyah, karena tidaklah mungkin untuk mengistilahkan Dzat-Nya dengan martabat asli-Nya; 2) Berdasarkan pada ketidakterbatasan dan kemencakupan-Nya atas segala asma dan sifat Ilahi yang kepadanya segala mazhhar bersandar, yang menurut ahli kasyf diistilahkan dengan al-a’yân ats-tsâbitah, dan menurut ahli syariat disebut dengan Lauh al-Mahfûzh dan al-Kitâb al-Mubîn.
Kata “Ar-Rahman” (Maha Pengasih) merupakan istilah bagi Dzat Ahadiyah, hal ini berdasarkan pada; 1) Berdasarkan tajalliyat-Nya pada lembaran alam semesta dan perkembangan-Nya dalam mulabas al-wujub dan al-imkan; 2) Berdasarkan tanazzul-Nya dari Martabat Ahadiyah kepada Martabat Al-‘Adadiyah (martabat keberbilangan); ta’ayyunat-Nya terhadap berbagai manifestasi ilmiah dan esensi; serta pengejawantahan-Nya melalui citra eksistensial.
Kata “Ar-Rahim” (Maha Penyayang) merupakan istilah bagi Dzat Ahadiyah yang diekspresikan melalui tauhid terhadap-Nya setelah disebutkan keberbilangannya; melalui penyatuannya setelah pemisahannya; penggabungannya setelah penghamparannya; pengangkatannya setelah penundukannya; dan tajrid-nya setelah taqyid-nya.
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam”
Segala puji dan pemuliaan yang menghimpun segala pujian dan pengharagaan yang lahir dari bahasa semua entitas semesta yang selalu bertawajuh kepada Penciptanya dengan ketaatan yang mengakui penghargaannya dengan cara bersyukur kepada Pemberi nikmat, baik melalui gerak maupun kata-kata, sejak azali, abadi, secara khusus dan ajek hanya untuk Allah, Dzat yang Menghimpun semua asma dan sifat yang melahirkan dan memelihara alam semesta seluruhnya karena Dia adalah Rabb semesta alam, yang jika saja pemeliharaan dan pelestaran Dia terhadap alam semesta hilang meski sesaat, niscaya alam semesta akan musnah sekaligus.
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Maha Pengasih dan Maha Penyayang”
“Ar-Rahman (Maha Pengasih) yang Maha Memulai dan Maha Mencipta kehidupan dunia dengan merentangkan bayang-bayang asma-Nya yang baik dan sifat-Nya yang luhur di atas mir’ah al-‘adam yang darinya terlukis alam semesta dan segenap bagiannya; baik yang tampak maupun yang gaib; baik yang awal maupun yang akhir; serta segenap bagiannya tanpa terkecuali. Ar-Rahim (Maha Penyayang), yaitu Dzat yang berjanji kepada segala sesuatu atas kembangkitan kembali setelah langit ketinggian dan bumi kerendahan digulung kembali ke titik permulaan dan akhirnya (Allah) karena Dia adalah,
مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
“Penguasa Hari Pembalasan”
Dia adalah Penguasa Hari Pembalasan dan ganjaran, yang menurut syariat disebut dengan istilah Hari Kimat atau al-Thâmmah al-Kubrâ. Pada hari inilah seluruh bumi dan langit akan hancur untuk kemudian semua catatan dari awal sampai akhir di bumi akan digulung.
Pada hari ini semua pandangan dan pikiran lenyap. Segala hijab dan tirai penghalang tersingkap. Semua entitas selain Allah akan sirna. Yang ada hanyalah Allah yang Mahaesa dan Mahapenakluk.
Ketika hamba telah sampai pada maqam dan tujuan ini, serta menyerahkan segala urusan kepada Allah, maka ia berhak selalu bersama Rabb-nya sebagai penyempurna martabat ubudiyah, sehingga tidak ada lagi khitab yang menjelaskan antara “aku dan kamu” dan tersingkap huruf “ghain” dan “’ain”. Pada saat itulah ucapan hamba akan selaras dengan bahasa tindakannya,
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.
Ini adalah kesaksian bahwa hanya kepada-Mu, Ya Allah, bukan kepada selain Engkau. Karena tidak ada yang lain bersama-Mu di alam wujud-Mu kami menyembah, bertawajuh dan menempuh suluk secara hina dan tunduk. Karena tidak ada sesembahan yang kami miliki selain Engkau, sebagaimana tidak ada tujuan selain hanya kepada-Mu dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. Maksudnya, kami tidak memohon pertolongan dan kemampuan untuk menyembah-Mu, kecuali hanya pada-Mu, karena tidak ada tempat kami kembali selain Engkau.
اِھْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ
صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ۹ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۗلِّيْنَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Ya Allah, tunjukilah kami dengan kelembutan-Mu, jalan yang lurus, yang dapat menghantarkan kami kepada puncak tauhid-Mu, yakni jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka, dari kalangan para nabi, shiddiqun, syuhada, dan orang-orang saleh, yang menjadi teman-teman terbaik.
Bukan orang-orang yang Engkau murkai, yaitu orang-orang yang ragu dan lari dari jalan kebenaran yang terang, karena mengikuti akal yang penuh dengan ilusi. Dan bukan orang-orang yang sesat, disebabkan fatamorgana dunia yang hina dan godaan setan yang menyimpang dari jalan kebenaran dan hujah yang meyakinkan. Âmin... kami berharap ijabah dari-Mu wahai Dzat yang paling penyayang di antara para penyayang.
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Tafsir Al-Jailani (terj. Markaz Al-Jailani Asia Tenggara)


Coba perhatikan Foto diatas adalah burung yang sedih ditinggal mati Kekasihnya , yg tentu semua orang sudah tahu kisahnya bukan


namun coba cermati lebih tajam lagi apa yg sebenarnya terlihat , apakah hanya burung , hewan, cinta ataukah engkau melihat Allah ?

seorang murid bertanya kepada Gurunya :

murid : Guru, kenapa Allah tidak kelihatan ?
Guru : karena kamu tidak mencarinya .

" Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. " (QS: Al-Qof :22)
Sungguh, kamu dahulu lalai tentang peristiwa ini[10], maka Kami singkapkan tutup (yang menutup) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam - See more at: http://www.tafsir.web.id/2013/04/tafsir-qaaf-ayat-16-35.html#sthash.wDWFm3za.dpuf
Sungguh, kamu dahulu lalai tentang peristiwa ini[10], maka Kami singkapkan tutup (yang menutup) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam - See more at: http://www.tafsir.web.id/2013/04/tafsir-qaaf-ayat-16-35.html#sthash.wDWFm3za.dpuf
Sungguh, kamu dahulu lalai tentang peristiwa ini[10], maka Kami singkapkan tutup (yang menutup) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam - See more at: http://www.tafsir.web.id/2013/04/tafsir-qaaf-ayat-16-35.html#sthash.wDWFm3za.dpuf

Kamis, 23 Oktober 2014

Ketika cintamu untuk selain Tuhan

Ketika cintamu untuk selain Tuhan berlebihan, engkau mengharapkan agar dia selamanya berada dalam keberuntungan yang baik, sebuah kemustahilan wujud karena semua orang tunduk pada perputaran roda nasib. Karena keadaan manusia terus-menerus berada dalam perubahan, pikiranmu jadi terganggu.

Ketika permusuhanmu dengan seseorang terlalu berlebihan, engkau mengharapkan agar musuhmu selamanya bernasib sial dan buruk. Padahal roda kehidupan terus berputar dan demikian pula keadaan musuhmu, kadang-kadang dia beruntung, terkadang pula dia sial. Karena tidak mungkin musuhmu selamanya sial, pikiranmu menjadi terganggu.

- Syekh Rumi QS.

Wali-wali Allah SWT

“Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah itu ada sekelompok orang yang bukan para nabi dan syuhada, pada hari kiamat para Nabi dan syuhada' menginginkan kedudukan seperti yg mereka peroleh dari Allah".
lalu Sahabat bertanya :
“Ya Rasulullah, tolong kami beritahu siapa mereka ?
Rasulullah SAW. Menjawab :
"Mereka adalah kaum yang saling cinta mencintai karena Allah tanpa ada hubungan sanak saudara, kerabat diantara mereka serta tidak ada hubungan harta benda yang ada pada mereka. demi Allah wajah-wajah mereka sungguh bersinar dan mereka berada diatas Cahaya, mereka tidak takut dikala orang lain takut, dan mereka tidak bersedih dikala orang lain sedih”, (kemudian beliau membaca firman Allah," Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS:10: 62)" (H.R. Abu Daud)

Nabi Muhammad Saw bersabda, "Para wali Allah ketika diam dalam keadaan berzikir, ketika melihat mereka mengambil pelajaran, saat berbicara mereka menebar hikmah dan ketika berbuat maka Allah akan menurunkan berkah-Nya."

Imam Ali bin Abi Thalib as berkata, "Jangan sekali-kali menghina dan meremehkan orang lain. Karena sesungguhnya Allah telah menyebarkan para wali-Nya yang tersembunyi di tengah-tengah masyarakat. Karena siapa tahu seseorang itu termasuk dari mereka, padahal kalian tidak mengetahui".

Ibnu Taimiyah menyatakan; "Wali-wali Allah SWT adalah orang-orang beriman yang bertaqwa. Bisa jadi dari mereka itu ada orang yang miskin atau sufi ( yang benar ) atau ahli fiqih atau ulama atau pedagang atau tentara atau pekerja atau pejabat atau pemimpin dll." ( Majmu Fatwa juz 11, hal 22 ).

JIWA SHALAT


Jalaluddin rumi ditanya, ”Adakah jalan yang lebih dekat menuju Tuhan daripada Shalat?” ”Tidak,” dia menjawab; ”namun shalat itu bukan hanya bentuknya saja. Shalat itu ada permulaan dan ujungnya, sepertinya semua yang berbentuk dan bertubuh dan yang melibatkan ucapan dan suara; tapi jiwa itu bebas dan tak terbatas. Para Nabi telah memperlihatkan hakekat shalat yang sesungguhnya. ...Shalat adalah ketenggelaman dan ketidaksadaran jiwa, sehingga seluruh bentuk-bentuknya tinggal di permukaan. Shalat itu, bahkan Jibril, yang merupakan ruh Suci tak dapat ruang. Orang dapat bekerja, siapa yang shalat seperti ini dikecualikan dari kewajiban agama, karena dia kehilangan kesadaran. Tenggelam dalam Kesatuan Ilahi itu adalah jiwa shalat.”

Syekh ibnu 'athoillah berkata : "Adakalanya cahaya mendatangimu namun kalbumu dipenuhi gambaran mahkluk sehingga cahaya-cahaya itu kembali ke tempat semula"

seorang Sufi berkata : "kesibukan dengan sesuatu selain Allah mencegah ruh dari penerimaan pancaran cahaya kehidupan , Shalat tanpa ruh tidak mempunyai rahasia apapun . kerugian yg nyata adalah balasan bagi mereka yg menukar Dzikrullah dengan mengingat segala sesuatu selain-Nya"

Karamah

Syaikh Muhdiyin Ibn Arabi berkata: " Ketahuilah karamah itu ada 2 macam : indrawi dan maknawi, orang2 awam hanya mengetahui karamah indrawi saja, seperti membaca pikiran org lain, memberitahukan yg gaib2, mengeluarkan sesuatu dari bumi, berjalan di atas air, menembus udara masuk ke dalam tanah, menghilang dari pandangan, dikabulkannya doa dlam seketika dll, hanya karamah seperti itulah yg diketahui org awam.
sementara karamah maknawi tidak dapat diketahui kecuali oleh orang2 khusus saja diantara hamba2 Allah. kawamah maknawi adalah seorang hamba dijaga supaya tetap melaksanakan adab2 syari'at dan diberi taufik utk selalu melakukan akhlak terpuji,menjauhi akhlak yg tercela, menjaga pelaksanaan kewajiban pda waktunya, bersegera dlam berbuat kebaikan,menghilangkan dendam ,iri,dengki , prasangka buruk,menjaga kesucian hati dari sifat2 terceladan menghiasinya dgan muroqobah,menjaga hak2 Allah dalam dirinya dan dalam segala hal,mencari jejak2 Tuhanya dalam hatinya,serta menjaga nafasnya ketika masuk dan keluar, yaitu menghirup udara dgan adab dan mengeluarkannya dgan merasakan kehadiran Allah. ini semua merupakan karamah maknawi para wali yg tidak akan bercampur dengan makar dan istidraj"


Abu Yazid r.a. pernah ditanya tentang kemampuan melipat (menempuh jarak dalam sekejap) bumi. Ia menjawab, “Itu tidak seberapa, karena iblis juga menempuh jarak dari ujung barat sampai timur hanya dalam sekejap, padahal ia tidak memiliki tempat di sisi Allah.” Selanjutnya Abu Yazid ditanya tentang orang yang mampu melayang di udara. Ia menjawab, “Burung juga bisa terbang di udara, padahal di sisi Allah seorang mukmin lebih mulia daripada burung. Bagaimana mungkin apa yang bisa dilakukan burung bisa disebut karamah.”

Demikianlah penjelasan Abu Yazid, lalu ia berkata, “Tuhanku, sesungguhnya suatu kaum meminta Engkau memberikan apa yang mereka sebutkan, sehingga dengan itu Engkau membuat mereka sibuk dan ahli. Ya Allah, meskipun Engkau menjadikanku ahli tentang sesuatu, tapi berilah aku kemampuan untuk mengetahui rahasia-Mu.” Abu Yazid hanya meminta ilmu, karena ilmu merupakan hadiah dan karamah yang paling mulia. Meskipun dengan ilmu kamu bisa berhujjah, tetapi ilmu akan menjadikanmu introspektif dan mengetahui apa yang baik dan buruk bagimu serta apa yang menjadi milik-Nya. Allah tidak pernah memerintahkan Nabinya untuk meminta tambahan sesuatu kecuali minta ditambah ilmu. Karena semua kebaikan terletak di dalam ilmu. Ilmu adalah karamah yang paling besar. Orang berilmu yang malas melaksanakan ibadah sunnah lebih baik daripada orang bodoh yang rajin melaksanakan ibadah sunnah.

Apabila muncul karamah dalam diri seorang wali, ia takut kepada Allah dan meminta-Nya untuk menyembunyikan hal-hal luar biasa itu dan agar ia tidak dibedakan dari orang kebanyakan dengan karamah yang diberikan kepadanya kecuali ilmu, karena ilmu adalah suatu kebutuhan. Dengan ilmu orang akan bermanfaat meskipun belum sempat mengamalkannya. Sesungguhnya tidak sama orang-orang yang tahu dengan orang orang-orang yang tidak tahu. Para ulama adalah orang-orang yang percaya akan adanya percampuran (antara ilmu dan karamah). Karamah hanya diberikan oleh Allah untuk orang-orang yang taat kepada-Nya karena mereka belum melihat wajah Tuhan dalam dirinya Karamah mereka yang paling tinggi adalah ilmu, karena dunia adalah tempat ilmu, sedangkan kejadian-kejadian luar biasa sesungguhnya tidak bertempat di dunia. Jadi, kejadian luar biasa tidak bisa disebut karamah, kecuali disertai dengan ilmu tentang Allah (ma’rifat), tidak cukup hanya dengan kejadian luar biasa itu saja. Itulah yang disebut ilmu. Jadi, karamah ilahi adalah ilmu tentang Allah (ma’rifat) yang dianugerahkan Allah kepada para wali.

ISTANA PENCERAHAN (Alasan-alasan bagi Penegakan Sebuah Tarekat)



Jalan (Tarekat) para Guru memperoleh substansinya dalam suksesi yang terus menerus dari waktu ke waktu paling awal. Mengandung hubungannya secara paralel, dengan guru-guru lama dan guru-guru kontemporer, melalui komunikasi langsung yang terjadi.

Saat ini banyak orang luar dibingungkan dengan fakta, bahwa terdapat perbedaan aliran (madzhab) dan formulasi di dalam Tarekat kami. Mereka semakin bingung karena, kendati pengikut satu aliran menghargai, memuja dan mengikuti satu guru dan metodenya, mereka mungkin pula bergabung dengan yang lain pada saat yang sama atau berbeda.

Alasannya, tidak jauh mencari, jika engkau tahu bagaimana mencarinya. Jawabannya, ada di aforisme kuno kami, 'Bicaralah pada Siapa pun, Sesuai dengan Permahamannya.'

Tugas guru adalah mengajar. Dalam mengajar ia harus mengingat akan kecenderungan dan pemikiran-pemikiran tertentu yang ada pada pengikutnya. Misalnya, ia harus menggunakan bahasa Bukhara kepada orang Bukhara, dan bahasa Baghdad bila di Baghdad.

Jika ia mengetahui apa yang ia ajarkan, ia menyusun bentuk luar sarana mengajarnya, seperti membangun bentuk fisik sekolah, sesuai dengannya. Juga keterlibatan adalah sifat dasar dan deskripsi para murid, dan kemampuan mereka.

Ambillah contoh dalam perkumpulan musik. Kita tidak mengikutinya atau menggunakan musik. Ini karena untuk waktu dan kedudukan kita, lebih banyak bahayanya daripada kebaikan. Musik, didengar dengan cara yang benar, meningkatkan pendekatan kepada Kesadaran. Tetapi akan membahayakan orang-orang yang tidak cukup siap, atau tipe yang tepat, untuk mendengar dan memainkannya.

Mereka yang tidak mengetahui ini menerima musik sebagai sesuatu yang sakral. Perasaan yang mereka alami selagi memperturutkannya, dengan salah mereka mengagungkannya. Kenyataannya, mereka menggunakannya untuk tujuan-tujuan lebih rendah, mengaduk-aduk sentimen, emosi yang tidak mempunyai dasar untuk kemajuan lebih jauh.

Kaum darwis ikut serta pada Tarekat paling sesuai dengan sifat dasar batiniah mereka. Mereka tetap bersama guru mereka sampai ia berkembang sejauh mungkin. Setelah itu, mungkin mereka pergi atau dikirim ke guru lain, agar mengambil bagian dalam latihan-latihan khusus yang digunakan dalam satu cara, sebagian cara lain. Sebagian dipertahankan, karena mereka tidak menerapkannya di tempat ini atau saat ini. Hampir sama dengan semua aliran lain. Itulah alasan bahwa di sini engkau akan menemukan guru-guru yang mempunyai jubah Izin untuk mengikutkan murid dari semua Tarekat, tetapi siapa yang bekerja dengan komunitas ini sesuai dengan kebutuhannya, berdasar pada ilmu asli di mana semua bentuk lainnya didasarkan.

Aliran kita didirikan berdasar otoritas pendahulu kita, yang dapat dibuktikan dan tanpa cela di dalam suksesi terus menerus, serta tercatat dari asal-usul spiritual. Bagaimanapun, sedikit yang engkau ketahui, betapa kecilnya anggapan-anggapan eksternal (yang memuaskanmu melalui reputasi moral kami) dalam perbandingan dengan Kebenaran Pengalaman fundamental, yang merupakan kekuatan warisan kami yang tidak terlihat.

(Shaykh Maulana Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi QS.)

Asy-Syibli Dan Al-Junaid



Abu Bakr ibnu Dulaf ibnu Jahdar (‘asy-Syibli’), dan Abul Qasim al-Junaid, si ‘Merak Kaum Terpelajar’, adalah dua guru Sufi awal. Mereka berdua hidup dan mengajar lebih dari seribu tahun yang lalu. Kisah tentang masa belajar asy-Syibli di bawah al-Junaid, diberikan di sini, diambil dari The Revelation of the Veiled, salah satu dari buku-buku penting dalam bidangnya. al-Junaid sendiri memperoleh spiritualitasnya melalui pengaruh Ibrahim ibnu Adham (‘Ibnu Adhem’ dalam puisi Leigh Hunt), ia sebagaimana Budha, adalah seorang pangeran yang turun tahta mengikuti tarekat (Jalan), dan meninggal pada abad kedelapan.

Asy-Syibli, anggota istana yang angkuh, pergi ke al-Junaid, mencari pengetahuan sejati. Katanya, “Aku dengar bahwa engkau mempunyai karunia pengetahuan. Berikan, atau juallah padaku.”

Al-Junaid berkata, “Aku tidak dapat menjualnya padamu, karena engkau tidak mempunyai harganya. Aku tidak memberikan padamu, karena yang akan kau miliki terlalu murah. Engkau harus membenamkan diri ke dalam air, seperti aku, supaya memperoleh mutiara.”

“Apa yang harus kulakukan?” tanya asy-Syibli.

“Pergilah dan jadilah penjual belerang.”

Setahun berlalu, al-Junaid berkata padanya, “Engkau maju sebagai pedagang. Sekarang menjadi darwis, jangan jadi apa pun selain mengemis.”

Asy-Syibli menghabiskan satu tahun mengemis di jalanan Baghdad, tanpa keberhasilan. Ia kembali ke al-Junaid, dan sang Guru berkata kepadanya:

“Bagi ummat manusia, kau sekarang ini bukan apa-apa. Biarkan mereka bukan apa-apa bagimu. Dulu engkau adalah gubernur. Kembalilah sekarang ke propinsi itu dan cari setiap orang yang dulu kau tindas. Mintalah maaf pada mereka.” Ia pergi, menemukan mereka semua kecuali seorang, dan mendapatkan pengampunan mereka.

Sekembalinya asy-Syibli, al-Junaid berkata bahwa ia masih merasa dirinya penting. Ia menjalani tahun berikutnya dengan mengemis. Uang yang diperoleh, setiap senja dibawa ke Guru, dan diberikan kepada orang miskin. Asy-Syibli sendiri tidak mendapat makanan sampai pagi berikutnya.

Ia diterima sebagai murid. Setahun sudah berlalu, menjalani sebagai pelayan bagi murid lain, ia merasa menjadi orang paling rendah dari seluruh makhluk.

Ia menggunakan ilustrasi perbedaan antara kaum Sufi dan orang yang tidak dapat diperbaiki lagi, dengan mengatakan hal-hal yang tidak dapat dipahami masyarakat luas.

Suatu hari, karena bicaranya tidak jelas, ia telah diolok-olok sebagai orang gila di masyarakat, oleh para pengumpat. Dia berkata:

Bagi pikiranmu, aku gila.
Bagi pikiranku, engkau semua bijak.
Maka aku berdoa untuk meningkatkan kegilaanku
Dan meningkatkan kebijakanmu
‘Kegilaanku’ dari kekuatan Cinta;
Kebijakanmu dari kekuatan ketidaksadaran.

Tawajjuh

Tawajjuh

Tawajjuh (menghadapkan diri kepada Allah SWT) terjadi dalam Dzikir Sirri. Dzikir Sirri dilakukan dengan menundukkan kepala dalam-dalam, arahkan ke titik lathifah qalbi di bawah puting susu kiri, memejamkan mata, mengatupkan bibir (kalau perlu lidah pun dilipat ke langit-langit atas agar tak ikut bergetar), lalu rasakan asma Allah menelusup masuk ke qalbu.
Apabila sebelumnya telah melakukan Dzikir Jahri dengan tepat maka pada saat Dzikir Sirri di qalbu akan ada rasa:
* Rasa terbakar, kehangatan yang menjalar dari api cinta dan rindu kepada Allah SWT.
* Rasa tenggelam, terhanyut dalam lautan rahmat Allah SWT, terengkuh dalam pelukan qudrat-Nya dan tertimang dalam buaian iradat-Nya.
* Rasa terguncang, terguncangnya jiwa dan raga oleh getaran qalbu yang berdzikir mengingat Allah (QS. Al-Anfal 8:2).
* Puncaknya adalah air mata kebahagiaan yang mengalir dari taman taqwa di dalam qalbu.

Burung terbang dengan dua sayap...
Ruh melayang dengan dua dzikir: jahri dan sirri

Atlas Walisongo

Dalam pandangan Sufi , seseorang itu menjadi sufi setelah dia mengalami suatu kejadian sehingga semua pikirannya menjadi berubah terhadap realitas, semua apa yg dia tahu menjadi berubah pengetahuannya ,yg tinggi tiba2 menjadi tampak rendah , yg dianggap mulia ternyata hina , semua menjadi terbalik semuanya , teorinya begini air itu tempatnya diatas namun dia selalu mencari tempat yg paling rendah, sedangkan api itu rendah sebenarnya namun dia selalu inginnya keatas namun sebenranya dia rendah , seperti disebutkan dalam Al-qur'an simbolismenya Arsy Allah berada diatas air ,............

 -Habib Anis Sholeh Ba'asyin & KH. Mustofa Bisri - Atlas Walisongo

Kesadaran Burung (Suluk Malang Sungsang)



Kesadaran burung adalah kesadaran yang diperoleh seorang penempuh (salik) selama tahap-tahap perjalanan ruhani melampaui kedudukan (maqamat) menuju Kesatuan (Tauhid). Bagaikan seekor burung, seorang salik yang sudah mencapai tahap ini akan menyaksikan dunia sebagai tempat hinggap sementara dan dapat ditinggalkan kapan pun dikehendaki. Segala sesuatu yang terkait dengan kecintaan terhadap dunia (hubb ad-dunya) sudah menyingsing bagaikan matahari menyeruak di tengah gumpalan awan hitam. Dunia telah menjadi sesuatu yang rendah di bawahnya. Pada tahap ini sang salik akan merasakan getar-getar cinta (hubb) seorang pecinta (muhibb) untuk mengarahkan pandangan kepada Kekasih (Mahbub) sehingga yang lain (ghair) akan terabaikan.

Kesadaran burung adalah kesadaran sang salik melihat dunia sebagai sekadar tempat berpijak untuk hinggap, makan, istirahat, bermadu kasih, tidur, dan bersarang. Atau, kesadaran makhluk berkedudukan tinggi yang selalu mengarahkan pandangan ke hamparan kehidupan di bawahnya. Atau, kesadaran untuk selalu melimpahkan segala sesuatu dari atas tanpa pernah menengadah dari bawah. Atau, kesadaran untuk selalu memberi tanpa pernah meminta. Atau, kesadaran seorang salik yang sudah di ambang batas antara alam kasatmata dan alam tak kasatmata. Atau, kesadaran untuk memaknai angkasa kosong sebagai Tujuan akhir dari Kebebasan yang didambakannya, meski sayap-sayapnya telah patah dan tubuhnya terbanting menjadi bangkai di muka bumi. Di atas semua gambaran itu, mereka yang sudah memiliki kesadaran burung adalah cermin dari jiwa merdeka yang tak sudi bertekuk lutut kepada sesama, meski kepadanya disediakan sangkar emas dan limpahan makanan.

Meski kesadaran burung nilainya lebih tinggi dibanding kesadaran hewan melata dalam rentang perjalanan ruhani seorang salik, kesadaran burung masih terjenjang berdasarkan tingkat-tingkat kedudukan (maqamat) yang mencitrai makna keburungan. Ada kesadaran burung gagak yang tak mampu terbang tinggi dan jauh: itulah kesadaran yang masih tercekam lingkaran angan-angan (al-wahm) yang memunguti serpihan-serpihan bangkai kamalasan dan cepat lupa diri jika dipuji-puji. Ada kesadaran burung merak yang tak mampu terbang tinggi dan jauh: itulah kesadaran yang cenderung membusungkan dada dan membentangkan bulu-bulu untuk memamerkan keindahan citra dirinya sebagai yang terbaik dan terindah di antara segala burung. Ada pula kesadaran bangau yang pintar bertutur kata, namun cenderung memuji diri dan selalu memamfaatkan “udang-udang” yang percaya pada ucapannya.

Pada tingkat-tingkat kedudukan selanjutnya ada yang disebut kesadaran burung beo, yang cenderung bangga dan berpuas diri bisa berkata-kata menirukan kata-kata orang bijak tanpa tahu maknanya. Ada kesadaran burung pipit yang cenderung berbangga diri hidup dalam kawanan-kawanan dan kemudian membanggakan kawanannya sebagai yang paling baik dan benar. Ada kesadaran burung merpati yang meski mampu terbang tinggi dan jauh, cenderung gampang terbujuk oleh kemapanan sehingga menjadi hewan peliharaan yang jinak. Yang tergagah dan terperkasa adalah kesadaran burung rajawali; sebuah kesadaran yang terbang tinggi dan jauh di tengah kesenyapan angkasa, berkawan kesunyian dan keheningan, bersarang tinggi di puncak tebing karang, tidak makan jika tidak lapar, tidak minum jika tidak haus, dan selalu bertasbih memuji Penciptanya dengan suara garang digetari makna rahasia: haqq…haqq…haqq!

Musafir trans 7 mampir di makam Guru besar Syeh Maulana Bahauddin Naqsabandy

Musafir trans 7 mampir di makam Guru besar Syeh Maulana Bahauddin Naqsabandy qs.,
monggo check this out !!

Tentang Maqam Spiritual


“Bagaimanakah hamba-hamba Allah melihat perbuatan yang tersembunyi dan bisikan-bisikan hati?” Beliau menjawab, Dengan cahaya pada mereka, seperti yang tertera dalampengelihatan yang dianugerah kan Allah Hadits suci, ‘Waspadalah dengan pengelihatan orang-orang yang beriman, karena dia melihat dengan Cahaya Allah” Beliau diminta untuk memperlihatkan kekuatan ajaibnya. Beliau berkata, Keajaiban apakah yang lebih dahsyat yang ingin kau lihat daripada kenyataan bahwa kita masih berjalan di muka bumi ini dengan semua dosa di atas dan sekeliling kita.

Beliau ditanya, ‘Siapakah para pembaca dan siapakah gerangan sang Sufi yang dimaksud oleh Junayd , Putuskanlah dirimu dari para pembaca kitab-kitab, dan bergabunglah dengan para Sufi?’” Beliau berkata, Para pembaca adalah orang yang sibuk dengan kata-kata dan nama-nama, dan Sufi adalah seseorang yang sibuk dengan inti sari dari nama-nama tersebut.’

Beliau memperingatkan, ‘Bila seorang murid, seorang Syaikh atau siapa pun bicara tentang suatu keadaan yang belum didapatkannya, Allah akan mencegahnya dari mencapai keadaan tersebut. Beliau berkata, Cermin dari setiap Syaikh memiliki dua arah. Namun cermin kita memiliki enam arah.’

Apa yang dimaksudkan dengan al-Hadits, ‘Aku beserta orang-orang yang mengingat-Ku,’ merupakan bukti nyata yang mendukung orang-orang yang di dalam hatinya senantiasa mengingat-Nya. Dan sabda Nabi yang lainnya berbicara atas Nama Allah, ‘Puasa itu adalah bagi-Ku’ merupakan suatu pernyataan bahwa sebenar-benarnya puasa adalah puasa dari segala sesuatu selain Allah.

-Syeh Maulana Bahauddin Naqsyabandy QS.

Tentang Berjalan dalam Jalur ini



Apakah di balik cerita Rasulullah, ‘Sebagian dari iman adalah memindahkan apa-apa yang membahayakan dari Jalan?’ Yang Beliau maksud dengan ‘yang membahayakan’ itu adalah ego, dan yang Beliau maksud dengan ‘Jalan’ adalah Jalan Menuju Allah, sebagai mana Dia berfirman kepada Bayazid al-Bistami, Tinggalkan egomu dan datanglah pada Kami.’

Suatu ketika beliau ditanya, “Apa yang dimaksud dengan Berjalan dalam Jalur?” Beliau berkata, Detailnya dalam pengetahuan spiritual.” Mereka bertanya, “Apakah detail dalam pengetahuan spiritual itu?” Beliau menjawab, Orang yang mengetahui dan menerima apa yang dia ketahui akan diangkat dari keadaan bukti nyata kepada keadaan pengelihatan. Barang siapa yang meminta untuk berada di Jalan Allah maka dia telah meminta jalan penderitaan. Diriwayatkan oleh Rasulullah, ‘Barang siapa yang mencintaiku maka aku akan membebaninya.’ Seseorang datang kepada Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Nabi, ku mencintaimu,’ dan Nabi berkata, ‘Maka bersiaplah untuk menjadi miskin.’ Lain waktu orang lain lagi datang kepada Rasulullah dan berkata,Ya Rasulullah , Aku mencintai Allah, dan Rasulullah berkata, ‘Maka siapkanlah dirimu untuk penderitaan.’

Beliau membaca sebuah ayat, Setiap orang mendambakan kebaikan,Namun tak seorang pun telah meraih kenaikan, Melainkan dengan mencintai Sang Pencipta kebaikan.Beliau berkata, “Barang siapa yang mencintai dirinya sendiri, harus menyangkal dirinya, dan barang siapa yang menginginkan yang lain selain dirinya sendiri, sesungguhnya yang diinginkannya hanyalah dirinya sendiri.”

-Syeh Maulana Bahauddin Naqsyabandy

Pembaca Kitab dan Para Sufi

Syeh Junaidi Al-Baghdadi berkata :
"Putuskanlah dirimu dari para pembaca kitab-kitab, dan bergabunglah dengan para Sufi"

‘Siapakah para pembaca dan siapakah gerangan sang Sufi yang dimaksud oleh Junayd ?

Syeh Baha'uddin An-Naqsyabandy menjawab:

"Para pembaca adalah orang yang sibuk dengan kata-kata dan nama-nama, dan Sufi adalah seseorang yang sibuk dengan inti sari dari nama-nama tersebut.."

wahai pejalan kapankah engkau paham dengan ini ?

"Wahai pejalan, aku khawatir engkau tidak akan sampai ke Mekkah --sebab jalan yang kau tempuh menuju Turkistan"

(Syekh Sa'di, Kebun Mawar, "Perilaku Para Darwis")

Tuan Rumah dan Tamu


Seorang guru adalah laksana tuan rumah. Para tamunya adalah orang-orang yang berusaha mempelajari Jalan. Mereka ini adalah orang-orang yang belum pernah berada dalam rumah sebelumnya, dan hanya mempunyai bayangan samar-samar tentang ujudnya. Bagi mereka, rumah itu ada, tidak lebih.

Ketika Tamu memasuki rumah dan melihat bangku, mereka pun bertanya, "Apa gerangan ini?' Dijawab: "Ini tempat duduk." Demikianlah, Tamu itu pun duduk di kursi, tetapi tak sadar sepenuhnya tentang kegunaannya.

Tuan Rumah menjamu mereka, namun mereka melanjutkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, yang beberapa di antaranya tidak ada sangkut pautnya. Layaknya tuan rumah yang baik, Pemilik Rumah itu tidak menyalahkan ketololan mereka tersebut. Misalnya, mereka ingin mengetahui tempat dan waktu makan. Para Tamu itu tidak menyadari bahwa tak ada orang yang sendirian, dan bahwa pada saat itu pun ada orang lain yang sedang memasak makanan, dan bahwa terdapat kamar lain tempat mereka nanti akan duduk makan. Karena tidak melihat tepung, atau proses pengolahannya, mereka pun bingung, mungkin ragu, dan bahkan gelisah.

Karena memahami kebingungan tamunya, Tuan Rumah yang baik pun mencoba menenteramkan hati mereka agar nantinya mereka bisa menikmati makanan ketika waktunya tiba. Semula, tidak siap untuk mencicipi hidangan.

Beberapa diantara para tamu itu cepat mengerti; mereka hubungkan suatu hal tentang rumah tersebut dengan hal lainnya. Mereka inilah yang bisa meneruskan pengetahuan itu kepada teman-temannya yang lebih lambat tanggap. Sementara itu, Tuan Rumah menjawab pertanyaan setiap Tamu sesuai dengan kemampuan mereka itu memahami kesatuan dan kegunaan rumah tersebut.

Tidaklah cukup apabila rumah itu sekadar ada, sebab ia dibuat untuk menerima tamu, untuk didiami oleh pemiliknya. Seseorang harus rajin-rajin mengurus rumah tersebut agar orang asing yang menjadi tamu, dan tuan rumahnya sendiri, bisa merasa kerasan. Pada awalnya, banyak di antara para tamu itu yang tidak sadar bahwa mereka adalah tamu, atau seperti apakah sopan-santun seorang tamu itu: apa yang bisa mereka bawa ke dalam rumah, apa yang akan mereka peroleh.

Seorang tamu yang berpengalaman, yang telah mempelajari mengenai rumah dan keramah-tamahan, akan merasa nyaman dalam kedudukannya sebagai tamu; dan selanjutnya, ia sudah siap untuk memahami lebih jauh tentang rumah dan berbagai segi kehidupan di dalamnya. Ketika ia masih mencoba memahami apa gerangan rumah itu, atau berusaha mengingat-ingat aturan etiket, perhatiannya akan sangat tersedot oleh unsur-unsur tersebut, daripada untuk mengamati, misalnya, keindahan, nilai, atau kegunaan perabotan.

nb: Kisah ini menunjuk pada beragam urutan kegunaan akal agar suatu pemahaman tertentu yang lebih tinggi bisa dicapai.

Kisah ini juga dimaksudkan untuk menekankan, dengan cara yang mudah diterima akal, perlunya keberadaan sekelompok Sufi, dan hubungan batin di antara berbagai orang, dan bagaimana keduanya bisa saling melengkapi.

Banyak perhatian dicurahkan para darwis terutama pada kebutuhan akan pengaturan unsur-unsur tertentu sebelum seseorang bisa menarik manfaat dari usaha-usaha kelompok.

Kisah ini merupakan salah satu kisah Sufi yang mengandung pembatasan. Kisah ini tidak boleh dipelajari terpisah, dan di manapun cerita ini dituliskan, seorang murid harus membaca kisah berikutnya segera sesudah yang satu ini.

Kisah ini tidak muncul dalam kumpulan karya klasik mana pun, tetapi mungkin ditemukan dalam koleksi catatan yang dimiliki para darwis; mereka pun menceritakannya dari waktu ke waktu sebagai bagian rangkaian pelajaran yang terencana.

Versi ini diambil dari naskah yang menyatakan bahwa kisah ini dikarang oleh Guru Agung Syeh Amir-Sayed Kulal Sokhari, yang meninggal tahun 1371.

Syaikh as-Sayyid Amir Kulal ibn as-Sayyid Hamza, Semoga Allah Mensucikan Jiwanya.



"Kita mempunyai jalan dari dunia nyata menuju alam ghaib, karena kita adalah sahabat dari Sang Utusan dalam Agama.
Kita mempunyai jalan dari rumah ke taman,
kita adalah tetangga dari pohon cemara dan melati.
Setiap hari kita datang ke kebun dan melihat ratusan bunga.
Untuk menaburkan mereka di antara para pecinta, kita penuhi jubah kita sampai penuh sesak.
Perhatikan ucapan kita! Mereka adalah wewangian bagi mawar itu—kita adalah semak mawar dari kebun mawar keyakinan."
Divan (Rumi)


Sayyid Amir Kulal dikenal bagaikan Mawar dalam hal Karakter dan Atribut Rasulullah , mencapai maqam yang tertinggi dari Pohon Lote terjauh, penunjuk jalan menuju Singgasana Utama, pemilik rahmat, guru yang memiliki rahasia nafas suci Tuhan. Dia adalah mujaddid atau pembaharu dalam syariah (Hukum), guru besar dalam thariqat, pendiri haqiqat (Realitas), and pembimbing bagi khaliqa (Ciptaan). Beliau diakui sebagai guru besar para wali di zamannya, yang menyandangkan ucapan, "Wali dari Guru besar adalah Guru Besar bagi para Wali." terhadap beliau.

Beliau dilahirkan di desa Sukhar, dua mil dari Bukhara. Keluarganya adalah sayyid, keturunan Rasulullah. Ibunya berkata, “Ketika Aku mengandung nya, setiap kali tanganku ingin mengambil makanan yang meragukan, Aku tidak bisa memasukkannya ke dalam mulutku. Hal ini sering kali terjadi. Aku tahu bahwa bayi yang berada di rahimku adalah seseorang yang istimewa. Oleh sebab itu Aku sangat berhati-hati dan memilih makananku dari makanan yang terbaik dan halal."

Di masa kanak-kanaknya, beliau adalah seorang pegulat. Beliau sangat suka mempelajari berbagai macam aliran gulat, sehingga beliau menjadi pegulat yang terkenal di masanya. Seluruh pegulat akan berkerumun dan belajar darinya. Suatu hari, ada seseorang yang menyaksikannya bergulat. Terbersit dalam benaknya, "Bagaimana mungkin seseorang yang merupakan keturunan Rasulullah yang sangat menguasai syari’at dan thariqat, melakukan latihan seperti itu?” tiba-tiba dia tertidur dan bermimpi kalau dia berada di Hari Pembalasan. Dia merasa dirinya berada dalam kesulitan dan akan tenggelam. Kemudian Syaikh Sayyid Amir al-Kulal muncul di hadapannya dan menyelamatkannya dari air. Ketika terbangun, dia mendapati Sayyid Amir al-Kulal di dekatnya dan berkata, “Apakah kamu telah menyaksikan kekuatanku dalam bergulat dan kekuatanku dalam memberi perantaraan?”

Suatu ketika seseorang yang akan menjadi Syaikhnya, yaitu Syaikh Muhammad Baba as-Samasi , melewati arena gulat bersama para pengikutnya. Beliau berhenti dan berdiri di sana. Setan berbisik kepada salah satu pengikutnya dengan berkata, “Bagaimana seorang Syaikh berdiri di arena gulat seperti ini?” Dengan segera Syaikh melihat muridnya itu dan berkata, “Aku berdiri di sini demi seseorang. Dia akan menjadi seorang yang luas pengetahuannya. Setiap orang akan mendatanginya untuk meminta bimbingan dan melalui dia orang bisa meraih posisi tertinggi dari Kecintaan Allah dan Kehadirat Ilahi. Aku bermaksud untuk membawa orang itu di bawah pengawasanku.” Pada saat itu Syaikh Amir Kulal menoleh kepadanya, dia merasa tertarik, lalu meninggalkan gulatnya. Beliau mengikuti Syaikh Muhammad Baba As-Samasi ke rumahnya. Syaikh Samasi mengajarinya dzikir dan prinsip-prinsip thariqat yang paling mulia ini, dan berkata kepadanya, ”Sekarang engkau adalah anakku.”

Syaikh Kulal mengikuti Syaikh Samasi selama 20 tahun menghabiskan waktunya dengan berdzikir, khalwat, ibadah, dan melakukan penyangkalan diri sendiri. Tidak ada yang melihatnya dalam kurun waktu 20 tahun itu kecuali bersama Syaikhnya. Beliau akan mendatangi Syaikhnya di Samas setiap hari Senin dan Kamis, meskipun jaraknya 5 mil dan perjalanannya sangat berat, sampai beliau mencapai keadaan tidak tersekat (mukashafa). Pada saat itu ketenarannya mulai tersebar ke mana-mana sampai beliau meninggalkan dunia ini. Beliau mempunyai empat orang anak, as-Sayyid al-Amir Burhanuddin, as-Sayyid al-Amir Hamza, as-Sayyid al-Amir Syah, dan as-Sayyid al-Amir Umar.

Beliau juga mempunyai empat orang khalifah, tetapi beliau meneruskan rahasianya hanya kepada satu orang di antara mereka, Guru dari para Guru, yang paling tahu di antara yang tahu, seorang Busur Perantara yang Terbesar (al-Ghawts al-A’zam), Sultanul Awliya, Syaikh Muhammad Baha'uddin Shah Naqshband.

Di Balik Misteri Kesufian


Ada sebagian wali yang tidak mau membuka pintu pembicaraan mengenai beberapa materi pembicaraan kaum sufi yang sangat misteri. Itu dilakukannya sampai ia menemui ajalnya dengan tetap teguh menempuh jalan tasawuf. Wali ini akan berkata, "Seseorang yang menempuh jalan yang ditempuh para wali Allah Swt., maka ia akan dapat melihat apa yang dilihat oleh wali-wali Allah Swt. itu, merasakan apa yang mereka rasakan, serta tidak merasa terganggu baik dengan pujian maupun celaan orang lain."

Dalam biografi tentang `Abdullah Al-Qurasyi dijelaskan bahwa suatu saat murid-muridnya memintanya untuk menyampaikan secuil tentang ilmu hakikat. Menanggapi permintaan murid-muridnya, dia lalu mengatakan pada murid-muridnya itu, "Berapa jumlah kalian saat ini?" Murid-muridnya menjawab, "Ada enam ratus orang." "Pilih seratus orang yang terbaik di antara kalian," begitu pinta sang guru. Mereka lalu memilih seratus orang terbaik.

"Dari seratus itu, ambil dua puluh orang yang terbaik," sang guru menyaring lagi. Mereka lalu memilih dua puluh orang yang terbaik. "Seleksi lagi empat orang terbaik dari dua puluh itu," kata sang guru meneruskan seleksinya. Lalu mereka memilih empat orang terbaik itu, karena hanya empat orang itulah sesungguhnya yang mempunyai kemampuan kasyf dan makrifat. Tapi menariknya, Muhammad Al- Qurasyi lalu berkata, "Sekiranya aku sampaikan semua pengetahuan tentang hakikat (`ilm al-haqa'iq) dan pengetahuan tentang semua misteri / rahasia ( 'Um al-asrar) itu pada kalian, niscaya orang pertama yang menjatuhkan vonis kafir kepadaku adalah empat orang ini."

Tidak sepatutnya dalam hati seseorang mempunyai suatu keyakinan bahwa para wali Allah Swt. itu sebagai golongan zindiq, hanya lantaran wali-wali Allah Swt. itu menyembunyikan apa yang telah mereka yakini dalam hati mereka mengenai para ulama dan kalangan awam. Sudah seharusnyalah bagi kita mengantarkan mereka ke ruang-ruang yang bercitra baik, lantaran kita tidak mengerti ungkapan-ungkapan teknis yang dipergunakan mereka. Sedang seseorang yang tidak masuk menelusuri kehidupan mereka, ia tidak akan mengerti kondisi yang sesungguhnya tentang mereka.

Komunitas sufi ini tidak pernah menutup diri kepada orang lain, bila orang-orang itu mengakui eksistensi pengetahuan komunitas sufi. Kecuali bila para sufi itu merasa lembah laut pengetahuan ini terasa begitu dalam bagi umumnya kalangan cerdik pandai, apalagi bagi kalangan lain yang status intelegensianya di bawah kalangan cendekiawan itu. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa Imam Ahmad bin Hambal ketika mendapat pertanyaan seputar komunitas sufi, dia menyuruh penanya untuk menanyakan langsung kepada Abu Hamzah Al-Baghdadi. Imam Ahmad setiap kali mendapati pertanyaan yang tidak mampu dijawabnya juga selalu menanyakannya kepada sufi dari Baghdad itu, "Apa pendapat Anda mengenai hal ini?"

Seorang yang telah mencapai tahap makrifat tidak akan mengatakan sesuatu yang dijadikannya sebagai standar penilaian untuk semua orang yang berbeda-beda status dan tingkatannya. Karena mengatakan sesuatu sesuai kadar kemampuan konstituennya juga merupakan kekhasan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad Saw. Beliau pernah bersabda, "Aku diperintahkan untuk menyampaikan materi dakwahku kepada semua orang sesuai tingkat intelektualitas masing-masing orang itu."


 Dikutip dari : ‘Abd Al-Wahhab Al Sya’rani (Ulama Besar Mesir Abad ke 10) Dari kitabnya Al Tahaqat Al-Kubra Al Musammat bi Lawaqih Al Anwar fi Thabaqat Al Akhyar.

Rahasia-Rahasia Pengetahuan Kaum Sufi

untuk semuanya Dikutip dari : ‘Abd Al-Wahhab Al Sya’rani (Ulama Besar Mesir Abad ke 10) Dari kitabnya Al Tahaqat Al-Kubra Al Musammat bi Lawaqih Al Anwar fi Thabaqat Al Akhyar.

Al Junaid berkali-kali mengatakan kepada Al-Syibli, "Jangan sekali-kali Anda membuka rahasia Allah Swt. pada mereka yang terhalang oleh tirainya sendiri (al-mahjubin) ." Al Junaid juga mengatakan, "Tidak sepantasnya seorang sufi membacakan buku-buku tauhid yang khusus, kecuali kepada mereka yang membenarkan eksistensi komunitas pelaku tasawuf atau mereka yang mempercayai para pelaku tasawuf. Jika tidak, dikhawatirkan akan ada murka bagi orang-orang yang mendustakan para pelaku tasawuf ini."

Telah disebutkan di atas komentar Abu Turab Al-Nakhsyabi mengenai orang-orang yang terhalang oleh tirainya sendiri, yaitu mereka yang mengingkari komunitas pelaku tasawuf. Berikut komentar Abu Turab itu, "Ketika hati seorang hamba telah berpaling dari Allah Swt., maka ia akan ditemani sifat gemar memfitnah wali-wali Allah." Ini disebabkan karena jika ia termasuk golongan mereka yang menghadapkan dirinya ke hadirat Allah Swt., tentu ia akan mencium aroma-aroma yang dipancarkan orang-orang yang selalu menghadapkan diri ke hadirat Allah. Ia juga pasti belajar mengenai akhlak mereka, memuji mereka, dan mencintai mereka. Semua itu dilakukannya hingga para pelaku tasawuf itu mau menerima orang itu bergaul bersama mereka dan ia akan menjadi seperti para pelaku tasawuf itu, sebagaimana yang umum terjadi pada seseorang yang ingin mendekatkan dirinya pada penguasa-penguasa dunia.

Kami juga ingin menegaskan bahwa atas alasan inilah, mereka yang telah mencapai tahap kesempurnaan di kalangan para pelaku tasawuf menyembunyikan pembicaraan seputar tingkatan-tingkatan ketauhidan yang khusus. Ini dilakukan karena mereka merasa kasihan pada kaum Muslimin awam, berusaha ramah pada mereka dari kalangan pengingkar yang selama ini selalu mendebat, di samping menjaga etika kepada mereka yang ahli dalam pembicaraan ini, yakni mereka yang telah mencapai tahap makrifat.

Al-Junaid bahkan tidak pernah membicarakan mengenai ilmu tauhid sama sekali, kecuali jika dia berada di bagian dalam rumahnya. Itu pun setelah pintu-pintu rumahnya ditutupnya rapat-rapat dan mengambil kunci pintu-pintu itu untuk kemudian dikuncinya lalu disimpannya di bawah pangkal pinggulnya. Dia lalu berkata, "Apakah kalian menyukai jika orang-orang yang membenci kita mendustakan wali-wali Allah Swt. dan menuduh mereka dengan tuduhan sebagai zindiq (keluar dari Islam) dan kafir."

Asal mula penyebab sikap Al Junaid itu adalah apa yang dikatakan orang-orang pengingkar itu tentangnya. Karenanya, setelah kejadian itu, dia lalu menutup diri dari percaturan fiqih, hingga dia menemui ajalnya.

Ibnu Al-'Arabi suatu saat mengatakan, "Seseorang yang tidak tergerak sedikit pun hatinya untuk membenarkan apa yang didengarnya dari pembicaraan komunitas pelaku tasawuf, maka ia jangan sesekali mendekati majelis komunitas pelaku tasawuf. Karena, mengikuti majelis para pelaku tasawuf tanpa membenarkan apa yang keluar dari mereka, sesungguhnya merupakan racun yang mematikan."

=== Jangan Dekat-dekat Kepada Tuhan ===

1.

Jangan dekat-dekat kepada Tuhan

Sebab engkau sudah amat sangat lekat pada dunia

Terlanjur salah pengertian kepada kehidupan

Tidak sungguh-sungguh menelusuri ilmu kematian

Terlalu percaya kepada banyak yang bukan Tuhan

2.

Jangan dekat-dekat pada Tuhan

Karena gemerlap dunia sudah menjadi tuhanmu

Dunia rumahmu, dunia jalanmu, dunia tujuanmu

Tak berani engkau berpisah darinya sejenakpun saja

Maka kalau dekat kepada Tuhan, kau akan menderita

3.

Jangan dekat-dekat kepada Tuhan

Teguhkan hati menikmati dunia dan mengidamkan sorga

Kalau dekat kepada Tuhan, dunia menjadi remeh

Dan sorga menjadi bukan segala-galanya

Itu tidak sejalan dengan muatan doa-doamu

4.

Jangan dekat-dekat kepada Tuhan

Sebab yang utama bagimu adalah kekayaan dunia

Yang kau perjuangkan adalah kedudukan di dunia

Harta benda, keunggulan, eksistensi, pangkat dan jabatan

Di dekat Tuhan semua itu rendah dan sia-sia

5.

Jangan dekat-dekat kepada Tuhan

Nanti engkau dicintai oleh-Nya dan disembunyikan

Mungkin malah ditabiri dengan hijab kehinaan

Diberi pakaian kumuh dan penuh kerendahan

Sehingga dunia mentertawakanmu dan meremehkan

6.

Jangan dekat-dekat kepada Tuhan

Nanti engkau tidak populer dan dikepung salah paham

Kau disangka timur oleh barat, dituduh utara oleh selatan

Kalau berjasa engkau tak memperoleh pujian

Karena Tuhan menyimpan pialamu di lubuk yang dirahasiakan

7.

Jangan dekat-dekat kepada Tuhan

Sebab itu membuatmu berpikir dan menilai ulang

Segala sesuatu yang sudah baku di dalam hidupmu

Untung rugi, rejeki bencana, penting tak penting

Harus kau bongkar dan membangunnya kembali

8.

Jangan dekat-dekat kepada Tuhan

Demi karier duniamu jangan dekat-dekat kepada-Nya

Atau tunggangi dan manfaatkan saja kekuasaan-Nya

Dengan berdoa naik pangkat dan bertambah kaya

Minta kemenangan untuk menguasai harta benda

9.

Jangan dekat-dekat kepada Tuhan

Kau akan mutlak terserap oleh supra-dimensi

Para makhluk tak sanggup menatapmu

Bumi takkan mampu menemukanmu

Sehingga pun dunia tak menghormatimu

10.

Jangan dekat-dekat kepada Tuhan

Sebab tak ada yang melebihi-Nya dalam hal dikhianati

Tapi Ia Maha Sabar dari zaman ke zaman diingkari

Kuatkah engkau berada di maqam itu

Terus menerus didera khianat dan ingkar oleh sesamamu

11.

Jangan dekat-dekat kepada Tuhan

Sebab ia menciptakanmu tanpa kepentingan

Ia mengasuhmu tanpa meminta imbalan

Sedangkan hidupmu adalah kepentingan

Dan setiap langkahmu mendambakan imbalan

12.

Jangan dekat-dekat kepada Tuhan

Kecuali kau tangguh memanggul ujian

Jika dunia yang kau genggam dan kau eman-eman

Direbut oleh-Nya, dibanting, dicampakkan, disirnakan

Apakah engkau rela, atau merasa itu derita

13.

Jangan dekat-dekat kepada Tuhan

Kecuali engkau ridha kehilangan dunia

Kecuali engkau ikhlas kehilangan dirimu sendiri

Hilang dari yang dinamakan kehidupan

Dirimu sendiri hilang dari dirimu sendiri

14.

Hayo… gimana

Maka jangan dekat-dekat kepada Tuhan

Berpalinglah dari asal usul dan arah tujuan

Mengembaralah di Bumi dengan kemerdekaan

Jilat sana, jilat sini, cari yang paling menguntungkan

Yogyakarta, 15 Agustus 2014,

Muhammad Ainun Nadjib

3 jenjang perkembangan spiritual menurut Syeh Rumi



1. Pada kondisi primitifnya,manusia hanya melayani "sesuatu selain Tuhan", manusia2 itu hanya melihat waktu "kini" dan , menyalahkan kelayakan obyek pemujaan,mengizinkan dirinya agar tetap terikat pada benda di dunia ini seperti uang,kekuasaan,ilmu,dan penyempurnaan kecerdasan, orang seperti itu terpedaya oleh nafsu ganas jiwa binatangnya agar percaya bahwa dirinya memiliki kemerdekaan. mereka menyatakan identitas ego dengan memikirkan Tuhan sebagai "Dia" yg jauh,atau sesuatu yg lain daripada dirinya sendiri.dengan menegaskan keberadaanya sendiri,mereka niscaya mendalilkan keberadaan sesuatu selain Tuhan.dengan demikian orang2 seperti itu menolak konsep dasar Tauhid.


2.Tahap perkembangan selanjutnya , adalah manusia yg sampai pada jenjang zuhud. mereka adalah orang2 yg memutuskan utk tidak melayani yg lain kecuali Tuhan. para zahid menolak benda2 duniawi dan meliihat pada "akhir" zaman. mereka bekerja utk mendapatkan ganjaran surgawi, alih2 kepuasan duniawiah kini. dia maju dari obyektivitas orang ketiga di dalam hubungannya dg Tuhan ke kenisbian orang kedua: "Engkau Tuhan, dan aku memuja-Mu", dpt dikatakan sbg manusia jenjang kedua. meski demikian, dgan menetapkan keberadaan dirinya, dia "membedakan" dirinya dengan Tuhan. orang2 yg sampai pd tahap ini,bagi Rumi,masih jauh dari konsep Tauhid .
  

 3.Jenjang terakhir dicapai dengan menyadari bahwa seluruh benda, termasuk ego subyektif yg dimiliki seseorang,tidak lain merupakan penjelasan semu dan sementara dari suatu realitas, yaitu Tuhan.
tujuan orang2 yg telah mencapai tahap ini adalah utk mengenali bahwa Tuhan merupakan kenyataan tunggal.
seseorang mesti mematikan diri,orang mesti membuang ego,dan "dilahirkan kembali pada ruh"dengan mempersatukan dirinya dalam kesatuan dan keesaan Tuhan. orang seperti itu tidak akan mengatakan "DIA" ataupun "Engkau" untuk Tuhan. mereka hanya mengenal kata "AKU" utk mengatakan sesuatu yg berhubungan dengan ketuhanan,dan jatuh dalam keheningan dunia ini.
Tahap ini adalah tahap orang2 suci yg telah mencapai penyatuan eksistensial dengan Tuhan. Mereka menjadi alat di dalam Tangan Tuhan, hampa dari seluruh kehendak subyektif. seperti dikatakan hadis Qudsi terkenal, bagi orang seperti itu Tuhan menjadi "mata yg melauinya dia melihat , telinga yg melaluinya dia mendengar, lengan yg melaluinya dia memegang." Rumi kerap membandingkan orang yg telah dilepaskan individualitasnya seperti itu pada org mabuk yg mengambang di air. yg setiap gerakannya diwujudkan oleh air, tidak oleh orang itu sendiri

nb:simplenya mereka yg telah haqqul yakin memaknai "lahawla wala quwwata illa billahil 'aliyyil 'adzim", tiada kekuatan maupun daya upaya kecuali atas izin Allah swt .

Syekh Muhammad Baba as-Samasi

Kita selami Lautan bersama, dan berdiri pada suatu titik di pantainya
Tepat di atasnya adalah sabagai mentari yang terbit menerangi cakrawala.
Tenggelamnya ada pada kita, pun dari kitalah merekah fajarnya
Jiwa kita memancar dari kilau permata yang tersentuhkan oleh kedua tangan kita
Saat itu kitapun menjadi permata
Beritahukanlah pada kami, makna dan rahasia sang mentari
mutiara apakah itu yang keluar dari Lautan ini;
Kita selami semesta yang namanya dalam buku kita belum pernah ada
Semesta terlalu sempit untuk dapat melingkupi kita
bahkan dapat terlingkupi dalam kita
Kita tinggalkan Lautan penuh gelombang badai
Bagaimanakah orang lain mengerti apa yang telah kita gapai?

Abu Madian

Syekh Muhammad Baba as-Samasi adalah seorang pelajar al-Azizan yang ternama dan merupakan seorang Cendikia dari para Wali dan seorang Wali dari para Cendikia. Beliau unik dalam dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan internal dan eksternal. Berkahnya menembus seluruh ummat di masanya. Dari keinginan belajarnya yang tinggi, beliau menyebabkan ilmu-ilmu ghaib dan rahasia menjadi tampak. Beliau adalah puncaknya Matahari Pengetahuan Eksternal dan Internal di abad ke-8 H. Salah satu tanda keajaibannya adalah mi’raj beliau dari Kubah Batu, yang merupakan hatinya ke maqam Cendikia dari para Cendikia. Para cendikia yang menguasai hikmah spiritual banyak yang menggali dari ladang ilmunya dan ikut berthawaf mengelilingi Ka’aba dibawah bimbingan beliau.

Beliau dilahirkan di Sammas, sebuah desa di pinggiran Ramitan, tiga mil dari Bukhara. Beliau mengalami kemajuan dalam perjalanannya dengan memahami Ilmu dalam al-Qur’an, menghafalkan al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw, serta menjadi ahli di bidang Jurisprudensi. Kemudian beliau mulai mempelajari Teologi Spekulatif, Logika, Filosofi (‘ilm al-Kalam) dan Sejarah, sampai beliau dijuluki ensiklopedia berjalan bagi segala bidang ilmu dan seni. Beliau mengikuti Syaikh Ali ar-Ramitani al-‘Azizan dan terus-menerus berperang melawan dirinya sendiri. Beliau melakukan khalwat setiap hari sampai mencapai maqam kemurnian sehingga Syaikhnya diizinkan untuk mentransfer Pengetahuan Surgawi yang bersifat Ghaib ke dalam hatinya. Beliau menjadi sangat terkenal dengan kekuatan ajaib dan ketinggian maqam kewaliannya. Syaikh ‘Ali Ramitani memilih beliau sebagai penerusnya sebelum beliau meninggal dan memerintahkan semua murid untuk mengikutinya.

Beliau pernah berkata ketika melewati sebuah desa di Qasr al-‘Arifan, “Dari tempat ini Aku mencium wangi seorang Pemegang Ilmu Spiritual yang akan muncul dan dari namanyalah seluruh thariqat ini akan dikenal.” Suatu hari beliau melewati desa itu dan berkata, “Aku mencium aroma yang sangat kuat, seolah-olah Pemegang Ilmu itu telah lahir.” Tiga hari berselang, kakek dari seorang anak mengunjungi Syekh Muhammad Baba as-Samasi dan berkata, “Ini adalah cucuku.” Beliau lalu berkata kepada para pengikutnya, “Bayi ini adalah Pemegang Ilmu yang telah kuceritakan kepada kalian. Aku lihat di masa depan dia akan menjadi pemandu bagi seluruh ummat manusia. Rahasianya akan menggapai seluruh orang-orang shaleh. Pengetahuan Surgawi yang telah dicurahkan oleh Allah I kepadanya akan memasuki setiap rumah di Asia Tengah. Nama Allah swt akan terukir (Naqsh) dalam hatinya. Dan thariqat ini akan dinamai dengan ukiran tersebut.”

Dari Ucapannya ”Para pencari harus selalu berusaha untuk mematuhi Perintah Allah swt, dan dia harus selalu berada dalam keadaan suci. Pertama dia harus mempunyai hati yang bersih sehingga tidak akan berpaling kepada apa pun kecuali Allah I. Selanjutnya dia harus menjaga agar bagian dalam tubuhnya tetap suci, dan tidak diperlihatkan kepada orang lain. Yaitu melihat dengan pandangan yang benar. Kesucian dada (sadr), terdiri atas harapan dan kepuasan terhadap Kehendak Ilahi. Kemudian kesucian jiwa, yang terdiri atas kesederhanaan dan penghormatan yang tinggi. Kemudian kesucian perut dengan hanya memakan makanan yang halal dan pantangan. Diikuti dengan kesucian badan yaitu dengan meninggalkan keinginan. Diikuti dengan kesucian tangan yang terdiri atas keshalehan dan ikhtiar. Kemudian kesucian dari dosa yaitu dengan menyesali kesalahan yang telah dilakukan. Selanjutnya kesucian lidah, yang terdiri atas dzikir dan istighfar. Kemudian dia harus mensucikan dirinya dari kelalaian dan kealfaan, dengan mengembangkan ketakutan terhadap Akhirat.”

”Kita harus selalu beristighfar, berhati-hati dalam segala urusan, mengikuti langkah orang-orang yang shaleh, mengikuti ajaran internalnya, dan menjaga hati dari segala godaan.”

”Jadilah orang yang terbimbing dengan ajaran Syaikhmu, sebab ajaran itu dapat menyembuhkanmu secara langsung dan lebih efektif daripada membaca buku.”
”Kalian harus menjaga asosiasi dengan seorang Wali. Dalam asosiasi itu kalian harus menjaga hatimu dari gosip dan tidak boleh berbicara di tengah kehadirannya dengan suara yang keras, kalian juga tidak perlu menyibukkan diri dengan shalat dan ibadah sunnah ketika sedang bersamanya. Jagalah kebersamaanya dalam segala hal. Jangan berbicara ketika mereka sedang berbicara. Dengarkan apa yang mereka katakan. Jangan melihat apa yang mereka miliki di rumah, terutama di kamar dan dapurnya. Jangan berpaling kepada Syaikh yang lain tetapi yakinlah bahwa Syaikhmu akan membuatmu tiba di tujuanmu. Jangan menyambungkan hatimu dengan Syaikh yang lain, bisa saja kalian akan terluka karena melakukan hal itu. Tinggalkan apa pun yang telah kalian kumpulkan semasa kanak-kanakmu.“Dalam menjaga kehadirat Syaikhmu, kalian tidak boleh menyimpan sesuatu dalam hatimu kecuali Allah swt dan Nama-Nya.”
”Suatu ketika Aku bertemu dengan Syaikhku, Syaikh ‘Ali ar-Ramitani . Ketika Aku memasuki kehadiratnya, beliau berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, Aku kirimkan keinginan mi’raj ke dalam hatimu’ Segera setelah beliau mengatakan hal itu beliau menempatkan diriku ke dalam keadaan dengan panorama spiritual, di mana Aku melihat diriku berjalan siang dan malam, dari negriku menuju Masjid al-Aqsa, Aku memasuki masjid dan Aku melihat seseorang yang bepakaian serba hijau di sana. Beliau berkata kepadaku, ‘Selamat datang, kami telah menantimu sejak lama.’ Aku berkata, ‘Wahai Syaikhku, Aku meninggalkan negriku pada tanggal sekian. Tanggal berapa sekarang?’ Beliau menjawab, ‘Hari ini adalah 27 Rajab.’ Aku sadar bahwa Aku telah melakukan perjalanan selama 3 bulan untuk mencapai masjid itu, dan yang membuatku terkejut adalah bahwa Aku tiba di malam yang sama dengan malam isra mi’raj Rasulullah saw.
Beliau berkata kepadaku, ‘Syaikhmu, Sayyid ‘Ali ar-Ramitani telah menantimu sejak lama di sini.’ Aku masuk ke dalam, dan Syaikhku sudah siap untuk menjadi Imam dalam rangkaian shalat malam. Setelah menyelesaikan shalatnya beliau menoleh kepadaku dan berkata, ‘Wahai anakku, Aku telah diperintahkan oleh Rasulullah saw untuk menemanimu dari Masjid Kubah ke Sidratul Muntaha, tempat yang sama di mana beliau mengalami mi’raj.’ Ketika beliau selesai berbicara orang yang serba hijau itu membawa dua makhluk yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Kami menunggangi kedua makhluk tersebut dan mengangkasa. Setiap kali kami naik, kami mendapatkan pengetahuan yang terdapat di tingkat antara Bumi dan Surga itu.”

”Mustahil melukiskan apa yang kami lihat dan kami pelajari dalam mi’raj itu, karena kata-kata tidak bisa mengekspresikan apa yang berhubungan dengan hati, kata-kata tidak bisa mengungkapkannya kecuali dengan merasakan dan mengalaminya sendiri. Kami melanjutkan mi’raj kami sampai tiba di maqam Realitas Rasulullah saw (al-haqiqat al-Muhammadiyya), yang berada di Kehadirat Ilahi. Setelah kami memasuki tingkatan ini, Syaikhku lenyap, Aku pun lenyap. Kami melihat bahwa tidak ada lagi yang eksis di alam semesta ini kecuali Rasulullah saw sendiri. Kami rasa tidak ada yang berada di maqam selanjutnya kecuali Allah swt sendiri. “

Kemudian Aku mendengar suara Rasulullah saw berkata kepadaku, “Wahai Muhammad Baba as-Samasi, Wahai anakku, jalur tempat engkau berada adalah jalur yang paling mulia, dan orang-orang yang telah terpilih untuk menjadi bintang dan penunjuk bagi ummat manusia akan diterima di jalur tersebut. Kembalilah, dan Aku akan mendukungmu dengan segala kekuatanku, dan Allah swt mendukungku dengan Kekuatan-Nya. Layanilah Syaikhmu.” Ketika suara Rasulullah saw menghilang, Aku menemukan diriku berdiri di tengah Syaikhku. Itu adalah sebuah karunia yang besar, berada dekat dengan Syaikh yang sangat kuat, yang bisa membawamu ke Kehadirat Ilahi.

Syekh Muhammad Baba as-Samasi q.s. meninggal dunia di Samas pada tanggal 10 Jumada al-Akhir, tahun 755 H. Beliau mempunyai empat khalifah, tetapi Rahasia dari Ahli Silsilah hanya diteruskan kepada Sayyid Amir Kulal ibn as-Sayyid Hamza q.s.

ketika hidup hanyalah simbol

matimu hanyalah simbol
bangunmu hanyalah simbol
tidurmu hanyalah simbol
mimpimu hanyalah simbol
jasadmu hanyalah simbol
ruhmu hanyalah simbol
makanmu hanyalah simbol
minummu hanyalah simbol
kata-katamu hanyalah simbol
diammu hanyalah simbol
kerjamu hanyalah simbol
kayamu hanyalah simbol
miskinmu hanyalah simbol
keluargamu hanyalah simbol
kawanmu hanyalah simbol
dirimu hanyalah simbol
adamu hanyalah simbol
sholatmu hanyalah simbol
dzikirmu hanyalah simbol
sedekahmu hanyalah simbol
hajimu hanyalah simbol
puasamu hanyalah simbol
agamamu hanyalah simbol
hatimu hanyalah simbol
Tuhanmu hanyalah simbol ,........

Ucapan Anjing Hitam Yang Menyayat Hati

Pada suatu hari, Syeikh Abu Yazid al-Busthami sedang menyusuri sebuah jalan sendirian. Tak seorang santri pun diajaknya. Ia memang sedang menuruti kemauan langkah kakinya berpijak; tak tahu ke mana arah tujuan dengan pasti. Maka dengan enjoynya ia berjalan di jalan yang lengang nan sepi.
Tiba-tiba dari arah depan ada seekor anjing hitam berlari-lari. Syeikh Abu Yazid al-Busthami merasa tenang-tenang saja, tak terpikirkan bahwa anjing itu akan mendekatnya. Ternyata anjing-anjing itu sudah mendekat di sampingnya.
Secara spontanitas Syeikh Abu Yazid al-Busthami pun segera mengangkat jubah kebesarannya. Tindakan tadi begitu cepatnya dan tidak jelas apakah karena merasa khawatir jangan-jangan nanti bersentuhan dengan anjing yang liurnya najis.
Tapi, betapa kagetnya Syeikh Abu Yazid al-Busthami begitu ia mendengar anjing hitam yang di dekatnya tadi memprotes: “Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa!”
Mendengar suara anjing hitam seperti itu, Syeikh Abu Yazid al-Busthami masih terbengong: “Benarkah ia bicara padanya? Ataukah itu hanya perasaan dan ilusinya semata?” Syeikh Abu Yazid al-Busthami masih terdiam dengan renungan-renungannya.
Belum sempat bicara, anjing hitam itu meneruskan celotehnya: “Seandainya tubuhku basah, engkau cukup menyucinya dengan air yang bercampur tanah tujuh kali, maka selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah sebagai seorang Parsi (kesombonganmu), dirimu tidak akan menjadi bersih walau engkau membasuhnya dengan tujuh samudera sekalipun!”
Setelah yakin bahwa suara tadi benar-benar suara anjing hitam yang ada di dekatnya itu, Syeikh Abu Yazid al-Busthami pun menyadari kekhilafannya. Secara spontan pula, ia bisa merasakan kekecewaan dan keluh kesah si anjing hitam yang merasa terhina. Ia juga menyadari bahwa telah melakukan kesalahan besar. Ia telah menghina sesama makhluk Tuhan tanpa alasan yang jelas.
“Ya, engkau benar anjing hitam. Engkau memang kotor secara lahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah. Karena itu, marilah kita berteman dan bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi bersih.” kata Syeikh Abu Yazid al-Busthami.
Ungkapan Syeikh Abu Yazid al-Busthami tadi tentu saja merupakan ungkapan rayuan agar si anjing hitam itu mau memaafkan kesalahannya. Jikalau binatang tadi mau berteman dengannya, tentu dengan suka rela ia mau memaafkan kesalahannya itu.
“Engkau tidak pantas untuk berjalan bersama-sama denganku dan menjadi sahabatku! Sebab, semua orang menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu. Tetapi siapa pun yang bertemu denganmu akan menyambutmu bagaikan raja. Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang pun, tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makanan esok hari!” kata si anjing hitam.
Syeikh Abu Yazid al-Busthami masih termenung dengan kesalahannya. Setelah dilihatnya, ternyata si anjing hitam telah meninggalkannya sendirian di jalanan yang sepi itu. Si anjing hitam telah pergi dengan bekas ucapannya yang menyayat hati Syeikh Abu Yazid al-Busthami.
“Ya Allah, aku tidak pantas bersahabat dan berjalan bersama seekor anjing milikMu. Lantas, bagaimana aku dapat berjalan bersamaMu yang abadi dan kekal? Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara makhlukMu yang terhina di antara semuanya.” seru Syeikh Abu Yazid al-Busthami.
Kemudian, dengan langkah yang sempoyongan Syeikh Abu Yazid al-Busthami pun meneruskan perjalanannya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke pesantrennya. Ia sudah rindu kepada para santri yang telah menunggu pengajarannya.
Keunikan dan kenylenehan Syeikh Abu Yazid al-Busthami memang sudah terlihat sejak dulu. Kepada para santrinya, beliau tidak selalu mengajarkan di pesantrennya saja, tetapi juga diajak merespon secara langsung untuk membaca ayat-ayat alam yang tergelar di alam semesta ini. Banyak pelajaran yang didapat para santri dari Syeikh Abu Yazid al-Busthami; baik pembelajaran secara teoritis maupun praktis dalam hubungannya dengan ketuhanan.
Suatu hari, Syeikh Abu Yazid al-Busthami sedang mengajak berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Setelah diamati secara seksama, ternyata ia bukanlah anjing hitam yang dulu pernah memprotesnya. Ia anjing kuning yang lebih jelek dari anjing hitam. Begitu melihat si anjing kuning tadi terlihat tergesa-gesa, maka Syeikh Abu Yazid al-Busthami segera saja mengomando kepada para muridnya agar memberi jalan kepada anjing kuning itu.
“Hai murid-muridku, semuanya minggirlah. Jangan ada yang mengganggu anjing kuning yang mau lewat itu! Berilah dia jalan, karena sesungguhnya ia ada suatu keperluan yang penting hingga ia berlari dengan tergesa-gesa,” kata Syeikh Abu Yazid al-Busthami kepada para muridnya.
Para muridnya pun tunduk-patuh kepada perintah Syeikh Abu Yazid al-Busthami. Setelah itu, si anjing kuning melewati di depan Syeikh Abu Yazid al-Busthami dan para santrinya dengan tenang, tidak merasa terganggu.
Secara sepintas, si anjing kuning memberikan hormatnya kepada Syeikh Abu Yazid al-Busthami dengan menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan rasa terima kasih. Maklum, jalanan yang sedang dilewati itu memang sangat sempit, sehingga harus ada yang mengalah salah satu; rombongan Syeikh Abu Yazid al-Busthami ataukah si anjing kuning.
Si anjing kuning telah berlalu. Tetapi rupanya ada salah seorang murid Syeikh Abu Yazid al-Busthami yang memprotes tindakan gurunya dan berkata: “Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhlukNya. Sementara, Guru adalah raja di antara kaum sufi, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing jelek tadi. Apakah pantas perbuatan seperti itu?”
Syeikh Abu Yazid al-Busthami menjawab: “Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku: “Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian dulu sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja di antara para sufi?” Begitulah yang sampai ke dalam pikiranku dan karena itulah aku memberikan jalan kepadanya.”
Mendengar penjelasan gurunya itu, para murid pun manggut-manggut. Itu merupakan pertanda bahwa mereka paham mengapa guru mereka berlaku demikian. Semuanya diam membisu. Mereka tidak ada yang berani membantah
lagi. Akhirnya mereka pun meneruskan perjalanannya.

JAM’IYYAH AHLITH THARIQAH AL MU’TABARAH AN NAHDLYYAH (JATMAN)


JAM’IYYAH AHLITH THARIQAH AL MU’TABARAH AN NAHDLYYAH
Profil
Organisasi keagamaan ini bernama Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah yang merupakan satu-satunya wadah bagi para pengamal ajaran Thoriqoh yang menjadi badan Otonom Jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Adalah Jam’iyyah Diniyyah yang berazaskan Islam Ala Ahlussunah wal Jama’ah dengan menganut salah satu dari madzhab 4 : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam bidang fiqih; menganut ajaran Al Asy’ariyah dan Al Maturidiyah dalam bidang aqidah dan menganut faham Al Khusyairi, Hasan Al Basri, Juned Al Baghdadi dan Al Ghazali dan sesamanya dalam bidang Tasawuf/Thoriqoh
Didirikan pada tanggal 20 Robi’ul Awwal 1377 H. bertepatan tanggal 10 Oktober 1957 M. di Ponpes Tegalrejo Magelang Jawa Tengah, disahkan oleh Muktamar NAHDLATUL ULAMA XXVI di Semarang bulan Rajab 1399 H. bertepatan bulan Juni 1979 M.
Tokoh Pendiri
1. KH. Abdul Wahab Hasbullah
2. KH. Bisri Syamsuri
3. KH. Dr. Idham Cholid
4. KH. Masykur
5. KH. Muslih
Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia
SIFAT
Universal artinya : Thoriqoh memiliki sifat yang mendunia melampui batas-batas wilayah dan negara karena tiap-tiap aliran Thoriqoh walaupun diamalkan oleh tiap-tiap warga negara tetapi secara sanad masing-masing masih berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
Sifat menyeluruh artinya pelaksanaan ajaran Thoriqoh sekaligus meliputi pelaksanaan Al Aqidah Al Syariah Al Muamalah dan Al Akhlaq yang bertujuan untuk Wushul Ila Allah.
Tertib dan terbimbing setiap pengamal Thoriqoh harus didasarkan kepada kitab-kitab yang muktabar dengan bimbingan para Mursyid.
Al Wushul Ila Allah, Thoriqoh adalah tidak semata-mata bentuk amalan bacaan atau dzikir untuk mencari pahala tetapi Thoriqoh bertujuan membentuk manusia seutuhnya, lahiriyah bathiniyah, yang bisa mengembangkan dan merasa didengar dan dilihat oleh Allah, atas dirinya sehingga dapat memiliki beberapa sifat Al Hauf, Ar Raja’, As Shidiq, Al Mahabbah, Al Wara’, Az Zuhud, As Syukur As Shabar, Al Khaya’ dan Al Khusyu’. Semuanya itu merupakan bagian dari syarat dalam mencapai mardhotillah.
Amanah; Fathonah; Shidik dan Tabligh, sebagai cahaya pancaran dari baginda nabi yang seharusnya mewarnai setiap anggota Thoriqoh, sehingga dari sifat-sifat tersebut dapat melahirkan sifat handarbeni dan menghargai segala pemberian hak individu dari lingkup yang kecil sampai yang besar baik yang diberikan oleh Allah SWT maupun pemberian oleh sebab manusia.
TUJUAN ORGANISASI
Mengusahakan berlakunya syari’at Islam dhohir batin dengan berhaluan ahlussunah wal-jamaah yang berpegang dari salah satu madzhab empat.
Mempergiat dan meningkatkan amal sholeh dhohir dan batin menurut ajaran Ulama’ Sholihin dengan Bai’ah Shohihah.
mengadakan dan menyelenggarkan pengajian khushushi / tawaj-juhan (majaalasatudzdzikri) dan nasril ulumunnafi’ah.
STRUKTUR ORGANISASI
Di tingkat pusat dinamakan Idaroh Aliyyah Jam’iyyah Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah.
Di tingkat propinsi dinamakan Idaroh Wustha Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah.
di tingkat kabupaten/ kodya dinamakan Idaroh Syu’biyyah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahsliyyah
Di tingkat kecamatan dinamakan Idaroh Ghusniyyah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah.
Di tingkat desa dinamakan Idaroh Sa’afiyyah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah.
HUBUNGAN KERJA SAMA
Hubungan silaturrahim untuk memperkuat tali persaudaraan antar Mursyid (Muqaddam) Khalifah, Badal dan Muridin Muridah.
Mengadakan pertemuan dan musyawarah kerja antar Idaroh dan para Kholifah.
KEGIATAN POKOK
Menyiarkan dan mempergiat ajaran Islam terutama mu’taqot islam menurut faham ahlussunah wal-jama’ah (al asy’ariyyah wal ma’turidiyyah) dengan bijaksana.
Mengembangkan ma’rifat billah, dan mentarbiyyah (mendidik) tercapainya akhlaqul karimah kepada umat.
Mempererat dan memperkuat hubungan serta persatuan para Guru Mursyid, Khalifah, dan Muridin Muridat.
Mengusahakan tercapainya asy syariatul ghorro’ wath-thariqatil baidlo’ yakni syariat islam dan thariqah muttasil sanaduha bir-rosulillahi SAW.
Meningkatkan amar ma’ruf nahi munkar kepada ummat dengan cara hikmah dan mau’idhoh hasanah.
Mengadakan bai’atan, sewelasan, pengajian triwulan, pengajian bulanan, pengajian rutin mingguan, pengajian rutin harian.
Mengadakan haul akbar / manaqib qubra satu tahun tiga kali, tempatnya berpindah-pindah.

mahkluk Allah yg paling buruk

Ada seorang Kyai sepuh yg memerintahkan anaknya utk mencari mahkluk Allah yg paling buruk ,"hai anakku kamu pergilah carilah mahkluk Allah yg paling buruk lalu bawalah kemari, sebelum ketemu jangan pernah kembali", lalu anak itu berangkat , setelah beberapa hari , di tengah jalan anak itu ketemu pelacur,
"wah ini mahkluk Allah yg pling buruk", lalu dia akan datangi pelacur itu ,tiba2 hatinya berkata,"ooo belum, tidak pelacur ini suatu saat dia bisa bertaubat". akhirnya dia meneruskan perjalanan , lalu dia bertemu koruptor,pencuri, perampok, dll selalu muncul kata2 itu , akhirnya setelah beberapa bulan dia bertemu anjing , bulukan , kotor , peenyakitan , kurus,najis, pkoknya buruk sekali , dan dia menyimpulkan ini yg paling buruk , akhirnya si anak membawa anjing utk dibawa pulang ke hadapan ayahnya , akhirnya dia jalan pulang , ketika sudah mendekati rumah , tiba2 muncul lagi hatinya berkaata,"lantas apa salah anjing ini , dia tak pernah berbuat dosa , Allah menciptakannya seperti ini??".
akhirnya anjing itu dilepas oleh si anak itu , kemudian dia pulang dengan dirinya sendiri menghadap bapaknya.
Bapaknya bertanya,"mana makhluk paling buruk itu?"
anak itu menjawab,"sayalah makhluk Allah pling buruk itu."
lalu bapaknya bertanya lagi,"kenapa kamu berkata begitu?"
anaknya menjawab ,
"semua yg saya lihat buruk itu masih punya kemungkinan baik, sementara saya hanya melihat mereka, sya tidak pernah melihat DIRI SAYA SENDIRI maka sayalah yg paling buruk.!"

Rabu, 22 Oktober 2014

TENGGELAM DAN FANA DALAM SAMUDRA TAUHID


Syekh Abdul Qadir Al-Jailani pada penutup surah An-Nisa dalam Tafsir Al-Jailani mengatakan:
“Wahai engkau yang selalu berusaha mewujudkan kebenaran, yang selalu bergerak menuju keesaan Allah –semoga Allah menghantarkanmu ke puncak tujuanmu—engkau harus berpegang pada semua bukti yang jelas, yang sampai kepadamu dari Rasulullah SAW yang menunjukkan tauhid al-Haqq. Engkau juga harus mengambil cahaya Al-Qur`an yang membedakan antara yang hak dan batil yang ada di jalan-Nya, lalu kau laksanakanlah berbagai hal yang dapat mengantarkan kepada Allah, yang engkau temukan di jalan itu.
Engkau harus menghindari semua larangan-Nya yang akan menyesatkanmu dan menjauhkanmu dari-Nya. Engkau harus berakhlak dengan berbagai kandungan yang terdapat di dalam semua hukum dan kisah-kisah yang disebutkan di dalamnya; agar engkau dapat mewujudkan rahasia tauhid yang disimbolkannya dan sinar keeesaan Allah dalam kemasan keberbilangan. Engkau harus teguh bersemayam di wilayah keesaan Dzat yang akan mengenyahkan semua hasrat batil yang musnah dalam seluruh diri-Nya.
Semua ini tentu tidak mudah untuk engkau lakukan, kecuali dengan melakukan khidmat panjang kepada sang Mursyid al-Kâmil al-Mukammil (yang sempurna dan menyempurnakan) yang membimbingmu kepada Allah, sebagai bentuk uluran dari Tali Allah yang terentang dari keazalian Dzat sampai keabadian asma dan sifat-sifat-Nya. Ketahuilah bahwa "Tali Allah" itu adalah al-Qur`an yang diturunkan kepada sang Makhluk Terbaik Muhammad SAW yang telah bersabda: "Al-Qur`an adalah Tali Allah yang terentang dari langit sampai ke bumi."
Rasulullah SAW juga bersabda, "Sesungguhnya Al-Qur`an ini adalah hidangan Allah. Maka ambillah dari hidangan-Nya semampu kalian. Sesungguhnya Al-Qur`an ini adalah Tali Allah dan Cahaya yang Menjelaskan (an-Nûr al-Mubîn) dan Penyembuh yang Bermanfaat (asy-Syifâ` an-Nâfi'), yang menjadi 'ishmah (pelindung dari dosa) bagi siapapun yang berpegang kepadanya, dan menjadi keselamatan bagi siapapun yang mengikutinya. Ia tidak menyimpang sehingga perlu dikecam, dan ia tidak bengkok sehingga perlu diluruskan. Keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis, dan ia tidak diciptakan disebabkan banyaknya bantahan. Bacalah ia, karena sesungguhnya Allah memberi kalian pahala atas bacaannya dengan ganjaran satu huruf dibalas sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan bahwa alif lâm mîm adalah satu huruf, melainkan alif, dan lâm, dan mîm …"(HR Al-Hakim dan Ibn Syaibah)
Jadi siapapun yang ingin menyelami gelombang samudera Al-Qur`an untuk mengeluarkan mutiara-mutiara keyakinan dan 'irfan, maka ia harus lebih dulu berpegang pada hukum-hukum syariat cabang (furu’iyah) yang digali oleh para Pemilik Tekad yang Benar (arbab al-‘azaim ash-shahihah), dari pengertian lahiriah ayat-ayat Al-Qur`an. Tujuannya adalah agar ia dapat menangkap aspek lahiriah dari para Ashhâb al-Yaqazhah (para Pemilik Kesadaran) dari kalangan Ahl ath-Thalab wa al-Irâdah (salik) agar jiwa mereka siap melakukan semua itu, dan batinnya menjadi jernih, sehingga aliran dari Lautan Tauhid dapat mengalirinya.
Ketika itu terjadi, maka ia akan siap menjadi tempat bagi sang Penguasa Kerinduan dan Cinta (Sulthân al-'Isyq wa al-Mahabbah). Karena perlindungan bagi inti tauhid tidak lain adalah berupa hukum-hukum syariah dan adab thariqah bagi para salik yang bergerak menuju hakikat melalui suluk dan mujahadah.
Adapun berkenaan dengan para budalâ` (para wali abdâl) yang selalu tenggelam dalam Lautan Dzat dan terpesona oleh penglihatan pada keindahan Ilahi, yaitu mereka yang fana` di dalam Allah secara mutlak –sehingga "mereka" adalah "Dia" dan "Dia" adalah "mereka"- maka kita dan mereka berada pada posisi masing-masing, sehingga kita tidak layak membicarakan tentang mereka. Semoga Allah menjadikan kita termasuk para pelayan dan debu di kaki mereka.
Wahai murid yang bertekad menempuh suluk jalan fana` dengan tekad yang kuat, dalam tekadmu ini engkau terlebih dulu harus menjernihkan sirr dan isi kalbumu dari segala bentuk tawajuh kepada yang selain al-Haqq. Engkau juga harus menjadikan tuntutan dan maksudmu hanyalah untuk tenggelam (istighrâq) dan fana (fana`) di dalam Lautan Keesaan.
Semua ini sama sekali tidaklah mudah bagimu, kecuali jika kau berhasil menghancurkan bahtera dirimu yang batil. Tapi untuk menghancurkannya pun tidaklah mudah bagimu, kecuali jika kau melakukan riyadhah yang berat, dalam bentuk lapar, haus, begadang pajang, pemutusan semua kelezatan inderawi dan syahwat nafsu untuk kemudian beralih kepada kelezatan cinta, fana, sabar terhadap bala, dan ridha atas semua ketetapan Allah yang kau alami. Jika kau berhasil mewujudkan semua ini di dalam dirimu, niscaya dirimu akan melemah dan bahteramu akan melamban. Pada saat itu, engkau akan mudah untuk menghancurkannya, cukup dengan kau berdiri di atasnya.
Ya Allah, ya Tuhan kami. Dengan kelembutan-Mu, hiasilah lahiriah kami dengan syariat-Mu; hiasilah batiniah kami dengan hakikat-Mu; hiasilah hati kami dengan musyahadah-Mu; hiasilah arwah kami dengan mu'ayanah-Mu; sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala yang Engkau kehendaki, dan Engkau layak menjadi tumpuan harapan orang-orang yang beriman.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Tafsir Al-Jailani.

Silsilah Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyyah Kediri (Baran)



 Silsilah thoriqoh ini dari Al Mursyid hingga Nabi Muhammad SAW. Adalah:

  • Allah Azza Wa Jalla
  • Malaikat Jibril as.
  • Nabi Muhammad SAW.
  • Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq
  • Sahabat Salman Al Farisy
  • Syaikh Qosim Muhammad Bin Abu Bakar Ash Shiddiq
  • Syaikh Ja'far Shodiq Sibtul Sayyidina Qosim Muhammad Bin Abu Bakar Ash Shiddiq
  • Syaikh Abu Yazid Thoifur Bin Isa Bin Adam Bin Syurusan Al Bashthomy
  • Syaikh Abul Hasan Ali Bin Abi Ja'far At Tahrofany
  • Syaikh Abu Ali Al Fadhil Bin Muhammaad Ath Thusi Al Farmadhy
  • Syaikh Abu Yakqub Yusuf Al Hamdany
  • Syaikh Abdul Kholid Al Majduny Bin Al Imam Abdul Jamil
  • Syaikh Arif Ar Royukary
  • Syaikh Mahmud Al Injir Faghnawy
  • Syaikh Ali Ar Rumny
  • Syaikh Muhammad Baba Asy Syimasy
  • Syaikh Amir Kulal Bin Hamzah
  • Syaikh Baha'uddin Bin Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad Al Alusy
  • Syaikh Muhammad 'Aluddin Al Qoththor Al Bukhory Al Khawarizmy
  • Syaikh Ya'qub Al Jarkhy
  • Syaikh Nashiruddin Abdulloh Al Akhror As Samarqondy
  • Syaikh Muhammad Az Zahid
  • Syaikh Ruwaisy Muhammad As Samarqondy
  • Syaikh Muhammad Al Khowajky Al Imkany As Samarqondy
  • Syaikh Muhammad Baqi Billah
  • Syaikh Muhammad Al Faruqy As Sarhandy
  • Syaikh Muhammad Ma'shum Bin Ahmad Al Faruqy
  • Syaikh Muhammad Syaifuddin Bin Ma'shum
  • Syaikh Nur Muhammad Al Badnawy
  • Syaikh Syamsuddin Habibulloh JanJanan Al 'Alawy
  • Syaikh Abdulloh Ad Dahlawy Al 'Alawy
  • Syaikh Kholid Al Utsmany Al Baghdady
  • Syaikh Abdulloh Affandy Al Makky
  • Syaikh Sulaiman Affandy Al Quroimy
  • Syaikh Ismail Al Burusy
  • Syaikh Sulaiman Az Zuhdi
  • Syaikh Ali Ridlo Jabal Ibn Qubays Al Makky
  • Syaikh Muhammad Yahya Al Barrany
  • Syaikh Umar Sufyan Al Barrany
  • Syaikh Basthomy Umar Al Barrany
  • *Syaikh Muhammad Miftahur Riza Al Barrany (sekarang)


KATA-KATA KEROHANIAN SYEIKH MUHAMMAD BAHAUDDIN NAQSYABANDI


· Mengamalkan tareqat berarti berkekalan di dalam melaksanakan ‘ubudiyyah kepada Allah, secara zahir dan batin, dengan kesempurnaan komitmen (iltizam) mengikuti as-Sunnah, dan menjauhkan segala bid’ah dan segala kelonggaran (rukhsah), pada setiap gerak dan diam.


· Jalan kita ialah dengan menuruti jejak langkah baginda Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Aku telah dibawakan ke jalan ini melalui Pintu Kurnia, karena dari permulaan jalan hingga ke akhirnya, tiada yang aku lihat melainkan pengaruniaan-pengaruniaan dari Allah.


· Di dalam tarekat ini, pintu-pintu kepada ilmu-ilmu langit akan dibukakan kepada as-Salikin yang teguh menuruti jejak langkah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengikuti as-Asunnah adalah cara yang paling utama untuk membuka pintu-pintu ini.


· Orang-orang ahli hikmah mempunyai tiga cara untuk mencapai Kebenaran (al-haqiqah), iaitu melalui muraqabah, musyahadah dan muhasabah.Muraqabah itu ialah tidak melihat makhluk karena seseorang itu senantiasa sibuk melihat Sang Pencipta makhluk. Maksud musyahadah ialah memandang kecemerlangan nur yang diterima di dalam hati. Dan maksud muhasabah ialah tidak mengizinkan segala ahwal yang telah diperoleh, menjadi batu penghalang bagi mencapai maqam-maqam yang lebih tinggi.


· Para ahlullah itu tidak pernah merasa kagum dengan amalan-amalan mereka. Mereka sentiasa beramal demi cinta kepadaNya.


· Siapa yang mengambil daripada tangan kami, dan menuruti jejak langkah kami, dan mencintai kami, apakah dia itu dekat ataupun jauh, berada di Timur atau di Barat, maka akan kami minumkan dia dari Sungai Kecintaan, dan akan kami berikan dia cahaya pada setiap hari.


· Jalan kita ialah melalui pergaulan yang baik. Mengutamakan diri dapat mengakibatkan seseorang itu menjadi masyhur dan ini ada bahaya. Kebaikan terletak di dalam bersahabat. Siapa yang mengikuti jalan ini akan memperolehi banyak manfaat dan barakah melalui pertemuan-pertemuan yang ikhlash dan yang benar.


· Siapa jua yang menziarahi kami tanpa memperolehi faedah yang mereka perlukan dibanding kami, sebenarnya, tiadalah mereka menziarahi kami. Mereka tidak akan merasa berpuas hati. Siapa yang mempunyai keinginan untuk berkata-kata dengan kami, kami tidak akan mendengar apa-apa. Dan siapa pula yang ingin mendengar daripada kami, kami tidak mempunyai apa-apa untuk diperdengarkan. Siapa yang menerima apa yang diberikan tanpa menganggapnya remeh, akan diberikan tambahan. Siapa pula yang tidak dapat menerima apa yang telah diberikan di sini, tidak akan berupaya menerima apa-apa pun, di mana-mana pun jua tempatnya.

Matahari akan Tetap Bersinar dan Menyinari



Setiap perbaikan dibangun untuk tujuan tertentu. Sebagian dibangun demi menunjukkan kemurahan hatinya, sebagian untuk memperoleh kemasyhuran, dan sebagian untuk ganjaran surga. Terkadang kita sering salah berprasangka bahwa perbuatan mengagungkan orang suci, berziarah ke kuburannya adalah perbuatan yang dilarang. Padahal tujuan dari perbuatan tersebut agar semua orang dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari orang suci yang sudah meninggal itu, dan tujuan akhirnya adalah Tuhan.
Orang suci sendiri tidak membutuhkan pengagungan. Mereka telah diagungkan di dalam dan atas nama mereka sendiri. Apabila satu lampu ditempatkan pada satu ketinggian, maka dia tetap memancarkan sinar. Tidak peduli tinggi atau rendah, dan tidak untuk dirinya sendiri. Dia hanya ingin cahayanya menyinari yang lain. Apabila matahari yang di atas langit berada di bawah, maka dia tetap akan menjadi matahari. Namun konsekuensinya dunia akan berada di dalam kegelapan. Dia kemudian ditempatkan di atas; bukan untuk kepentingannya sendiri, melainkan untuk kepentingan orang lain. Hakekatnya, orang suci lebih penting daripada kategori "atas" dan "bawah" maupun pengagungan dari orang-orang.
Ketika setitik kebahagiaan atau cahaya rahmat dari dunia lain memanifestasikan dirinya kepadamu, maka pada saat itu engkau benar-benar tidak peduli kepada kategori "atas" dan "bawah", tidak peduli kepada "tingkat ketuhanan" atau "kepemimpinan", bahkan kepada dirimu sendiri. Bagaimana mungkin orang suci yang merupakan sumber asal cahaya dapat diikat oleh kategori "atas" atau "bawah" ??. Keagungan mutlak hanya milik Tuhan. DIA merdeka dari kategori "atas" atau "bawah". DIA lebih penting dari kategori "atas" atau "bawah". Mereka sama semua di hadapan Tuhan. Kategori "atas" dan "bawah" hanyalah untuk kita yang berwujud fisik material.

(yang mengenal dirinya,yang mengenal Tuhannya - Syekh Jalaluddin Rumi QS.

Peran Ulama Sufi di Balik Penaklukan Konstantinopel



Jika kita perhatikan, pada setiap kemenangan yang diraih kaum Muslimin, beberapa di antaranya ada peran besar ulama. Pada perang Salib tampil pahlawan besar Shalahuddin al-Ayubi dan pasukan tangguhnya yang merupakan alumni madrasah yang dirintis oleh Imam al-Ghazali. Juga, didikan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tak dapat dinafikan dalam perang Salib itu. Begitu pula di belakang Muhammad al-Fatih, sang Sultan yang menaklukkan Konstantinopel, terdapat guru sufi yang selalu membimbing sang Sultan.

Dia adalah Syeikh Aaq Syamsuddin, penasihat Muhammad al-Fatih, pahlawan Islam dari dinasti Utsmaniyah yang sukses menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453 M. Berkat bimbingan Syeikh Syamsuddin, Sultan al-Fatih berhasil membangkitkan semangat pribadi dan kaum Muslimin untuk menaklukkan kerajaan raksasa dunia, Bizantium, di usia al-Fatih yang masih 25 tahun.

Peran guru sufi ini jelas tidak mungkin diabaikan. Sebab, ia turut pergi ke medan pertempuran untuk mendampingi Sultan al-Fatih memimpin pasukannya. Nasihat-nasihat spritualnya menambah semangat keimannya yang membara.

Syaikh Syamsuddin, adalah seorang ulama ahli tasawwuf berasal dari negeri Syam yang berhasil memoles pribadi al-Fatih menjadi sultan yang tangguh, berilmu, cerdas, pemberani dan pemimpin negara yang bertakwa kepada Allah Swt. Hingga di medan pertempuran terdepan, sang Syeikh mendampingi al-Fatih, untuk memberi tausiyah, arahan, strategi dan bimbingan spiritual.

Nama asli Syeikh Aaq Syamsuddin adalah Muhammad bin Hamzah al-Dimasyqi al-Rumi. Dilahirkan di kota Damaskus, negeri Syam, pada tahun 792 H/1389 M. Nasabnya bersambung dengan Abu Bakar al-Shiddiq r.a. Pada usia 7 tahun berhasil menghafal al-Qur’an. Lalu meneruskan belajarnya di kota Amasiya, kemudian pindah ke Halab dan merantau ke Ankara Turki.

Pembimbing Spiritual Sultan al-Fatih

Muhammad al-Fatih telah dibimbing Syeikh Syamsuddin sejak kecil. Ia mengajari Muhammad al-Fatih berbagai disiplin ilmu dasar, yaitu al-Qur’an, al-hadits, Fikih dan bahasa Arab.

Syeikh Syamsuddin berhasil meyakinkan sultan Muhammad al-Fatih, bahwa dialah pemimpin yang ‘diramal’ Rasulullah Saw yang berhasil menaklukkan Konstantinopel. Saat menjabat sultan Utsmani, usia al-Fatih masih sangat muda. Syeikh Syamsuddin menasihatinya agar dia segera bergerak untuk merealisasikan hadis Rasulullah Saw, bahwa konstantinopel akan ditaklukkan oleh pemimpin adil dan tentara Islam yang terbaik.

Konstantinopel, merupakan kota paling penting di dunia pada zaman itu. Dibangun pada tahun 330 M oleh Kaisar Bizantium, kekaisaran Kristen. Sejak dibangun, Konstantinopel dijadikan ibukota kerajaan selama berabad-abad lamanya. Kota ini menjadi pusat perhatian dunia. Ada yang mengatakan bahwa “Andaikata duni ini berbentuk satu kerajaan, maka Konstantinopel akan menjadi kota yang paling cocok untuk menjadi ibukota kerajaan tersebut”.

Tentang kota ini, Rasulullah Saw memberi kabar gembira bahwa kelak, kota Konstantinopel akan jatuh di bawah kekuasaan Islam. Beliau bersabda:

لتفتحن القسطنطينية على يد رجل فلنعم الأمير أميرها ولنعم الجيش ذلك الجيش

“Konstantinopel akan bisa ditaklukkan di tangan seorang laki-laki. Maka orang yang memerintah di sana adalah sebaik-baik penguasa dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara” (HR. Ahmad).

Karena itu, para khalifah kaum Muslimin berlomba-lomba menaklukkan Konstantinopel dalam rentang waktu yang panjang. Tercatat, sejak masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan tahun 44 H hingga rombongan paling besar dilakukan pada masa Dinasti Umayyah di bawah Sulaiman bin Abdul Malik, semuanya gagal.

Usaha berlanjut pada masa kekhalifahan Abbasiyah, khususnya pada masa Khalifah Harun al-Rasyid pada tahun 190 H. Meski sempat menimbulkan gejolak negeri Bizantium tapi misi penaklukan Harun al-Rasyid masih belum berhasil.

Di masa pemerintahan Muhammad al-Fatih, Konstantinopel baru berhasil ditaklukkan. Beberapa kali upaya penaklukkan tidak berhasil. Ia sampai sempat putus asa mengatur serangan ke Konstantinopel.

Namun sang guru, Syeikh Syamsuddin, mendampingi dan menasihati agar tetap terus berjuang. Pengepungan benteng konstantinopel memakan waktu 54 hari. Banyak korban dari tentara Utsmani yang meninggal dunia. Para pejabat militer hampir putus asa gagal menaklukkan konstantinopel. Tapi, Syeikh Syamsuddi sangat yakin, hadis Rasulullah Saw akan terealisasi pada Muhammad al-Fatih, tidak pada pemimpin lainnya.

Dalam suatu persiapan serangan, Syeikh Syamsuddin menyendiri di kemah. Ia melarang seorang pun untuk masuk. Muhammad al-Fatih memaksa masuk kemahnya. Dan ia menyaksikan sang Guru khusyu’ bermunajad kepada Allah. Ia bersujud kepada Allah dalam suatu sujud yang panjang. Sorbannya terlepas dari kepalanya sehingga membuat rambut kepalanya yang memutih menyentuh bumi. Sedangkan jenggotnya yang mutih memantul sinar laksana cahaya. Sang guru bangkit dari sujudnya dengan air mata berlinang dari kedua pipinya. Dia berdoa kepada Allah Swt agar kemenangan dikaruniakan kepada al-Fatih dan meminta penaklukan dapat terlaksana kota dalam jangka waktu yang dekat.

Ketika terjadi penyerbuan ke benteng Konstantinopel, Syeikh Syamsuddin mendatangi Muhammad al-Fatih untuk memberi nasihat penting tentang hukum-hukum syariat dalam peperangan, serta hak-hak kaum yang ditaklukkan sebagaimana diatur dalam syariat.

Syeikh Syamsuddin berpidato di hadapan pasukan Utsmani: “Wahai tentara Islam, ketahuilah dan ingatlah bahwa Nabi saw bersabda, ‘Konstantinopel akan bisa ditaklukkan di tangan seorang laki-laki. Maka orang yang memerintah di sana adalah sebaik-baik penguasa dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara’. Kita memohon kepada Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi, semoga Dia memberikan kita taufik dan mengampuni semua. Ketahuilah, janganlah kalian berlaku berlebih-lebihan dari apa yang kalian dapat dari harta rampasan perang, dan janganlah kalian berlaku boros. Infakkan harta di jalan yang baik untuk penduduk kota ini. Dengarkan apa yang dikatakan Sultan kalian dan taatilah dia dan cintailah. Wahai sultanku, kau telah menjadi tanda mata Bani Utsmani. Maka jadilah engkau sebagai mujahid di jalan Allah selamanya”.

Tak lama kemudian, dimulailah serangan ke benteng raksasa Konstantinopel. Tepat pada jam 1 pagi 29 Mei 1435 benteng yang berdiri berabad-abad lamanya jebol. Pasukan al-Fatih berhasil menguasai kota dan pasukan Bizantium tidak berdaya. Selama itu pula, Syeikh Syamsuddin tidak pernah meninggalkan al-Fatih dan pasukannya. Ia ingin menyaksikan langsung realisasi hadis Rasulullah Saw.

Muhammad al-Fatih betul-betul ditempa spiritualnya oleh Syeikh Syamsuddin. Sultan al-Fatih pernah mengirimkan uang sebanyak seribu dinar kepadanya. Namun Syeikh Syamsuddin menolaknya. Bahkan, Syeikh tidak memberi penghormatan berdiri untuk sang Sultan ketika mau pamit keluar. Sultan al-Fatih pun kecewa.

Seorang pembantu Sultan mengatakan, “Mungkin dia melihat dalam dirimu ada perasaan sombong karena penaklukan ini, yang sebelumnya tidak bisa dilakukan para Sultan sebelum kamu. Dengan demikian, Syeikh bermaksud menghapuskan rasa sombong itu darimu”.

Demikianlah cara Syeikh Syamsuddin memberi pelajaran kepada sultan al-Fatih. Agar supaya sultan selalu berjalan di atas syari’ah tidak terbuai oleh kekuasaan.

Pelajaran keras diberikan sejak Muhammad al-Fatih masih kecil. Pada suatu hari, ia memanggil Muhammad al-Fatih kemudian memukulnya keras, karena melakukan kesalahan ringan. Pukulan keras Syeikh ini ternyata dikenang terus oleh al-Fatih. Hingga ia dewasa memangku kesultanan. Hingga suatu saat ia memanggil Syeikh Syamsuddin dan menanyainya: “Mengapa Anda memukulku waktu itu padahal aku tidak melakukan apa-apa yang layak dipukul?”

Maka Syeikh menjawab: “Karena aku ingin mengajarimu rasanya kezhaliman dan bagaimana orang yang terzhalimi tidur, agar ketika engkau menduduki posisi kepemimpinan, engkau tidak menzhalimi seorang pun!”.

Mendengar penjalasan Syeikh, al-Fatih langsung meminta maaf kepada Syeikh, karena memiliki pikiran negatif dan akhirnya mencium kepala serta tangan gurunya tersebut.

Syeikh Syamsuddin begitu terhormat di mata sang Sultan. Muhammad al-Fatih, meski menjadi sultan yang kekuasannya meluas hingga separoh negeri Eropa, tidak pernah meremehkan nasihat Syeikh. Sang Syeikh pun tidak pernah menjadi penjilat, tidak pernah memberi penghormatan berlebihan. Ia tidak takut kecuali kepada Allah. Karena itu, setiap kali sultan datang menziarahi, Syeikh Syamsuddin tidak pernah berdiri dari tempat duduknya untuk menyambutnya. Justru sebaliknya ketika yang menziarahi Sultan, sultan-lah yang berdiri untuk menyambut gurunya tersebut lalu mencium tangannya.

Jasa Syeikh Syamsuddin sangatlah besar untuk kesultanan Utsmani dan sultan al-Fatih. Beliau mendidik sultan dengan dua hal besar:

Melipatgandakan semangat gerakan jihad di dalam Dinasti Utsmani
Terus-menerus menanamkan dalam diri sultan Muhammad sejak kecil bahwa dialah yang dimaksudkan dalam hadis Nabi saw: “Sungguh Konstantinopel itu akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik panglima adalah panglima (yang menaklukkannya) dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukkannya” . Hingga akhrinya pikiran Muhammad al-Fatih benar-benar dipenuhi dengan pemikiran bahwa memang dialah yang dimaksudkan dalam hadis ini.
Para hali sejarah mengatakan bahwa Syeikh Syamsuddin itulah Sang Penakluk bagi konstantinopel. Dialah yang telah mengajarkan kepada al-Fatih berbagai ilmu, baik ilmu setrategi perang maupun ilmu falak, sejarah dan matematika.

Ahli Ilmu Kedokteran

Syeikh Syamsuddin bukan hanya ahli bidang syariah, tasawuf dan akhlak, namun ia juga dikenal ahli pengobatan. Syeikh memiliki kepedulian terhadap penyakit jasmani, sebagaimana ia peduli dengan penyakit-penyakit rohani. Dia menulis kitab berjudul Maadat al-Hayat. Dalam buku tersebut, Syeikh mengatakan, “Sangat keliru jika dikatakan bahwa penyakit-penyakit itu berpindah dari satu orang ke orang lain dengan cara menular. Penularan ini sangat kecil dan renik, hingga tidak mampu dilihat oleh mata telanjang. Penularan ini terjadi karena adanya kuman yang hidup”.

Dia dikenal orang pertama yang melakukan penelitian kuman pada abad ke-15 M. Dimana pada saat itu belum ada mikroskop. Ia jauh mendahului ilmuan Eropa. Eropa baru melakukan penelitian tentang kuman empat abad setelah Syeikh Syamsudin. Dilakukan oleh Louis Pasteour, ahli Biologi dan Kimia asal Prancis. Namun, dalam dnia ilmu Biologi, Louis Pasteour lebih dikenal daripada Syeikh Syamsuddin.

Karya-karya Syeikh cukup beragam, mulai tentang akhlak, tasawwuf, hingga kedokteran. Di antara karyanya adalah; Madaat al-Hayat, Kitab al-Thibb, Hallul Musykilat, al-Risalah al-Nuriyah, Maqalatul Auliya’, Risalah fi Dzikrillah, Talkhish al-Mata’in, Daf’u al-Mataa’in, Risalah fi Syarh Haaji Bayaram Wali. Syeih Syamsuddin meninggal dunia di kota tempat tinggalnya, Koniyoka, wilayah Turki pada tahun 863 H/1459 M.

Begitulah jasa seorang ulama dalam kemenangan kaum Muslimin. Dalam setiap persoalan apapun yang menimpa hajat kaum Muslimin, ulama tidak dapat ditinggalkan. Mereka adalah warisan Nabi. Peran politik, atau militer ternyata tidak berarti tanpa peran ulama di dalamnya. Mereka pemimpin umat untuk melanjutkan dan memelihara syiar dan kemuliaan Islam. Rasulullah Saw berwasiat: “Duduklah kamu dengan orang-orang agung menurut Allah, dan bertanyalah kamu kepada para ‘Ulama dan berkumpulah kamu dengan para ahli hikmah (HR. Tabrani)”