Pada suatu hari, Syeikh Abu Yazid al-Busthami sedang menyusuri
sebuah jalan sendirian. Tak seorang santri pun diajaknya. Ia memang
sedang menuruti kemauan langkah kakinya berpijak; tak tahu ke mana arah
tujuan dengan pasti. Maka dengan enjoynya ia berjalan di jalan yang
lengang nan sepi.
Tiba-tiba dari arah depan ada seekor anjing
hitam berlari-lari. Syeikh Abu Yazid al-Busthami merasa tenang-tenang
saja, tak terpikirkan bahwa anjing itu akan mendekatnya. Ternyata
anjing-anjing itu sudah mendekat di sampingnya.
Secara
spontanitas Syeikh Abu Yazid al-Busthami pun segera mengangkat jubah
kebesarannya. Tindakan tadi begitu cepatnya dan tidak jelas apakah
karena merasa khawatir jangan-jangan nanti bersentuhan dengan anjing
yang liurnya najis.
Tapi, betapa kagetnya Syeikh Abu Yazid
al-Busthami begitu ia mendengar anjing hitam yang di dekatnya tadi
memprotes: “Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa!”
Mendengar suara anjing hitam seperti itu, Syeikh Abu Yazid al-Busthami
masih terbengong: “Benarkah ia bicara padanya? Ataukah itu hanya
perasaan dan ilusinya semata?” Syeikh Abu Yazid al-Busthami masih
terdiam dengan renungan-renungannya.
Belum sempat bicara, anjing
hitam itu meneruskan celotehnya: “Seandainya tubuhku basah, engkau cukup
menyucinya dengan air yang bercampur tanah tujuh kali, maka selesailah
persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah
sebagai seorang Parsi (kesombonganmu), dirimu tidak akan menjadi bersih
walau engkau membasuhnya dengan tujuh samudera sekalipun!”
Setelah yakin bahwa suara tadi benar-benar suara anjing hitam yang ada
di dekatnya itu, Syeikh Abu Yazid al-Busthami pun menyadari
kekhilafannya. Secara spontan pula, ia bisa merasakan kekecewaan dan
keluh kesah si anjing hitam yang merasa terhina. Ia juga menyadari bahwa
telah melakukan kesalahan besar. Ia telah menghina sesama makhluk Tuhan
tanpa alasan yang jelas.
“Ya, engkau benar anjing hitam. Engkau
memang kotor secara lahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah. Karena
itu, marilah kita berteman dan bersama-sama berusaha agar kita berdua
menjadi bersih.” kata Syeikh Abu Yazid al-Busthami.
Ungkapan
Syeikh Abu Yazid al-Busthami tadi tentu saja merupakan ungkapan rayuan
agar si anjing hitam itu mau memaafkan kesalahannya. Jikalau binatang
tadi mau berteman dengannya, tentu dengan suka rela ia mau memaafkan
kesalahannya itu.
“Engkau tidak pantas untuk berjalan
bersama-sama denganku dan menjadi sahabatku! Sebab, semua orang menolak
kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku
akan melempariku dengan batu. Tetapi siapa pun yang bertemu denganmu
akan menyambutmu bagaikan raja. Aku tidak pernah menyimpan sepotong
tulang pun, tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makanan esok
hari!” kata si anjing hitam.
Syeikh Abu Yazid al-Busthami masih
termenung dengan kesalahannya. Setelah dilihatnya, ternyata si anjing
hitam telah meninggalkannya sendirian di jalanan yang sepi itu. Si
anjing hitam telah pergi dengan bekas ucapannya yang menyayat hati
Syeikh Abu Yazid al-Busthami.
“Ya Allah, aku tidak pantas
bersahabat dan berjalan bersama seekor anjing milikMu. Lantas, bagaimana
aku dapat berjalan bersamaMu yang abadi dan kekal? Maha Besar Allah
yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara makhlukMu
yang terhina di antara semuanya.” seru Syeikh Abu Yazid al-Busthami.
Kemudian, dengan langkah yang sempoyongan Syeikh Abu Yazid al-Busthami
pun meneruskan perjalanannya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke
pesantrennya. Ia sudah rindu kepada para santri yang telah menunggu
pengajarannya.
Keunikan dan kenylenehan Syeikh Abu Yazid
al-Busthami memang sudah terlihat sejak dulu. Kepada para santrinya,
beliau tidak selalu mengajarkan di pesantrennya saja, tetapi juga diajak
merespon secara langsung untuk membaca ayat-ayat alam yang tergelar di
alam semesta ini. Banyak pelajaran yang didapat para santri dari Syeikh
Abu Yazid al-Busthami; baik pembelajaran secara teoritis maupun praktis
dalam hubungannya dengan ketuhanan.
Suatu hari, Syeikh Abu Yazid
al-Busthami sedang mengajak berjalan-jalan dengan beberapa orang
muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang
berlawanan datanglah seekor anjing. Setelah diamati secara seksama,
ternyata ia bukanlah anjing hitam yang dulu pernah memprotesnya. Ia
anjing kuning yang lebih jelek dari anjing hitam. Begitu melihat si
anjing kuning tadi terlihat tergesa-gesa, maka Syeikh Abu Yazid
al-Busthami segera saja mengomando kepada para muridnya agar memberi
jalan kepada anjing kuning itu.
“Hai murid-muridku, semuanya
minggirlah. Jangan ada yang mengganggu anjing kuning yang mau lewat itu!
Berilah dia jalan, karena sesungguhnya ia ada suatu keperluan yang
penting hingga ia berlari dengan tergesa-gesa,” kata Syeikh Abu Yazid
al-Busthami kepada para muridnya.
Para muridnya pun tunduk-patuh
kepada perintah Syeikh Abu Yazid al-Busthami. Setelah itu, si anjing
kuning melewati di depan Syeikh Abu Yazid al-Busthami dan para santrinya
dengan tenang, tidak merasa terganggu.
Secara sepintas, si
anjing kuning memberikan hormatnya kepada Syeikh Abu Yazid al-Busthami
dengan menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan rasa terima kasih.
Maklum, jalanan yang sedang dilewati itu memang sangat sempit, sehingga
harus ada yang mengalah salah satu; rombongan Syeikh Abu Yazid
al-Busthami ataukah si anjing kuning.
Si anjing kuning telah
berlalu. Tetapi rupanya ada salah seorang murid Syeikh Abu Yazid
al-Busthami yang memprotes tindakan gurunya dan berkata: “Allah Yang
Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhlukNya.
Sementara, Guru adalah raja di antara kaum sufi, tetapi dengan
ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih
memberi jalan kepada seekor anjing jelek tadi. Apakah pantas perbuatan
seperti itu?”
Syeikh Abu Yazid al-Busthami menjawab: “Anak muda,
anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku: “Apakah dosaku dan
apakah pahalamu pada awal kejadian dulu sehingga aku berpakaian kulit
anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja di antara
para sufi?” Begitulah yang sampai ke dalam pikiranku dan karena itulah
aku memberikan jalan kepadanya.”
Mendengar penjelasan gurunya
itu, para murid pun manggut-manggut. Itu merupakan pertanda bahwa mereka
paham mengapa guru mereka berlaku demikian. Semuanya diam membisu.
Mereka tidak ada yang berani membantah
lagi. Akhirnya mereka pun meneruskan perjalanannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar